BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Agribisnis sebagai aistem, telah dikemukakan bahwa
komponen-komponen sistem saling terkonseksi, langsung maupun tak langsung,
dengan hubungan fungsional yang bersifat interdependensi. Ciri dari koneksi
yang bersifat interdependensi ialah adanya hubungan timbal-balik, dua arah.
Ciri ini ada di dalam sistem agribisnis yang memiliki arus sirkuler dua arah,
yaitu arus masa dari sistem kepada konsumen, dan kebalikannya arus pendapatan
dari konsumen ke dalam sistem.
Performa (atau kinerja) sebuah sistem merupakan resultan
dari kinerja seluruh sistem secarabersama-sama, meskipun setiap komponen
memerankan fungsi yang berbeda-beda. Dengan kata lain, apabila kinerja salah
satu komponen sistem tidak optimal, kinerja seluruh sistem tidak akan maksimal. Demikian
pengertian tentang dalil kinerja sistem agribisnis.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Jelaskan pengertian nilai tambah dalam
manajemen agribisnis !
2.
Jelaskan beberapa jenis produksi dan
nilai tambah yang terdapat di dalamnya !
C.
Tujuan
1.
Menjelaskan pengertian nilai tambah
dalam manajemen agribisnis
2.
Menjelaskan beberapa jenis produksi dan
nilai tambah yang terdapat di dalamnya
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Nilai Tambah Dalam Manajemen Agribisnis
Nilai
tambah (value added) adalah pertambahan nilai suatu komoditas karena mengalami
proses pengolahan, pengangkutan ataupun penyimpanan dalam suatu produksi. Dalam
proses pengolahan nilai tambah dapat didefinisikan sebagai selisih antara nilai
produk dengan nilai biaya bahan baku dan input lainnya, tidak termasuk tenaga
kerja. Sedangkan marjin adalah selisih antara nilai produk dengan harga bahan
bakunya saja. Dalam marjin ini tercakup komponen faktor produksi yang digunakan
yaitu tenaga kerja, input lainnya dan balas jasa pengusaha pengolahan (Hayami
et al, 1987)
B.
Beberapa
Jenis Produksi Dan Nilai Tambah Yang Terdapat Di Dalamnya
1. Industri dan Pengembangan Produk
Kelapa Sawit dan Turunannya
Komoditas agroindustri merupakan
subsektor pertanian yang diharapkan dapat berperan penting terhadap pertumbuhan
ekonomi, penerimaan ekspor, penyediaan lapangan kerja, pengurangan kemiskinan,
dan pemerataan pembangunan wilayah. Ditinjau dari cakupan komoditasnya,
terdapat ratusan jenis tanaman tahunan dan tanaman musiman dapat tumbuh subur
di Indonesia, sehingga pembangunan agroindustri akan dapat menjangkau berbagai
tipe komoditas yang sesuai dikembangkan di masingmasing daerah di Indonesia.
Dilihat dari hasil produksinya, komoditas perkebunan merupakan bahan baku
industri dan barang ekspor, sehingga telah melekat adanya kebutuhan keterkaitan
kegiatan usaha dengan berbagai sektor dan subsektor lainnya. Di samping itu,
jika diamati dari sisi pengusahaannya, sekitar 85 persen komoditas agro
merupakan usaha perkebunan rakyat yang tersebar di berbagai daerah. Dengan
demikian pembangunan industri agro akan berdampak langsung terhadap peningkatan
kesejahteraan masyarakat, terutama melalui perannya dalam menciptakan lapangan
kerja dan distribusi pemerataan pendapatan.
Bisnis minyak kelapa sawit (crude
palm oil/CPO) Indonesia berkembang pesat pada dekade 1990–2000an dengan daya
saing yang relatif bagus. Areal kelapa sawit tumbuh dengan laju sekitar 11%
dari 1.126 juta ha pada tahun 1991 menjadi 3.584 pada tahun 2001 (Susila,
2004b). Perkembangan berikutnya (2000–2005) pertumbuhan ekspor CPO Indonesia
dan dunia selalu positif. Pada periode ini, Malaysia masih lebih dominan
daripada Indonesia, meski produksi Indonesia lebih tinggi. Pangsa ekspor CPO
Malaysia rata-rata mencapai lebih dari 50% ekspor CPO dunia, sementara pangsa
ekspor Indonesia belum mencapai 40% (Nuryanti, 2008).
Sejak tahun 2006, Indonesia berhasil
menggeser posisi Malaysia sebagai produsen dan eksportir CPO terbesar di dunia,
lebih cepat dari yang diproyeksikan semula yaitu tahun 2010. Dalam lima tahun
terakhir, peran Indonesia sebagai produsen CPO dunia meningkat tajam menjadi
44,3% pada 2008, sejalan dengan pesatnya pertumbuhan produksi yang tumbuh
rata-rata 9,1 persen per tahun. Sebaliknya peran Malaysia turun secara tajam
dari 49,8% pada tahun 2000 menjadi 40,9% pada tahun 2008 (Miranti, 2010). Minat
untuk terus membuka lahan kebun sawit baru, pada tahuntahun mendatang masih
akan sangat besar. Ini disebabkan oleh harga CPO di pasar dunia yang masih akan
terus naik, mengikuti kenaikan harga minyak mentah di pasar internasional
(Purwantoro, 2008; Nuryanti, 2008). Selain itu, minyak nabati, terutama CPO
akan terus dilirik sebagai bahan biodiesel karena harganya jauh lebih murah
(Tanet al., 2009).
Konsistensi peningkatan ekspor ini
menurut kajian INDEF (2007) menunjukkan bahwa:
a. Serapan CPO oleh industri domestik
masih rendah karena industri hilir kelapa sawit yang tidak berkembang.
b. Nilai tambah tertinggi diperoleh
dari produksi CPO, bukan dari produk turunannya.
Pengusaha masih lebih tertarik pada industri primer (CPO)
yang cenderung padat tenaga kerja, bukan padat modal karena untuk memproduksi
produk turunan diperlukan dana investasi yang tinggi.
c. Tersedianya pangsa pasar dunia atas
minyak sawit dengan pengembangan industri hilir dan sumber energi alternalif
(biodiesel)
Kelapa sawit (CPO) merupakan salah satu tanaman perkebunan
yang mempunyai peran penting bagi subsektor perkebunan. Hilirisasi kelapa sawit
antara lain memberi manfaat dalam peningkatan pendapatan petani dan masyarakat,
menciptakan nilai tambah di dalam negeri, penyerapan tenaga kerja, pengembangan
wilayah industri, proses alih teknologi, dan untuk ekspor sebagai penghasil
devisa. Di luar itu, dari sisi upaya pelestarian lingkungan hidup, tanaman
kelapa sawit yang merupakan tanaman tahunan berbentuk pohon (tree crops) dapat
berperan dalam penyerapan efek gas rumah kaca, seperti CO2, dan mampu
menghasilkan O2 atau jasa lingkungan lainnya, seperti konservasi biodiversity
atau eko-wisata (Kementan, 2007). Tanaman kelapa sawit juga menjadi sumber
pangan dan gizi utama penduduk dalam negeri, sehingga keberadaannya berpengaruh
sangat nyata dalam perkembangan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Komoditas kelapa sawit merupakan primadona perdagangan
ekspor Indonesia pada sub-sektor perkebunan dan merupakan salah satu industri
pertanian yang strategis. Prospeknya ditunjukkan oleh peningkatan produksi yang
sejalan dengan tingkat permintaannya. Kelapa sawit juga merupakan salah satu
dari sedikit komoditas agribisnis Indonesia yang memiliki daya saing di pasar
Internasional .
Meskipun memiliki industri bahan baku yang melimpah, namun
perkembangan industri ini masih kalah dibandingkan dengan Malaysia yang
kapasitas produksinya mencapai dua kali lipat dari Indonesia. Sebagai gambaran,
Indonesia menguasai sekitar 12 persen permintaan oleochemical dunia yang
mencapai enam juta metrik ton per tahun, sementara Malaysia mencapai 18,6
persen. Industri hilir Malaysia mampu mengolah CPO menjadi lebih dari 120 jenis
produk bernilai tambah tinggi, sedangkan Indonesia baru belasan produk.
Industri oleokimia merupakan industri yang strategis karena selain keunggulan
komparatif yakni ketersediaan bahan baku yang melimpah juga memberikan nilai
tambah produksi yang cukup tinggi yakni di atas 40 persen dari nilai bahan
bakunya (ICN, 2009a; Rai, 2010).
Industri oleokimia adalah industri antara yang berbasis
minyak kelapa sawit (CPO) dan minyak inti sawit (PKO). Dari kedua jenis produk
ini dapat dihasilkan berbagai jenis produk antara sawit yang digunakan sebagai
bahan baku bagi industri hilirnya baik untuk kategori pangan ataupun non
pangan. Di antara kelompok industri antara sawit tersebut salah satunya adalah
oleokimia dasar (fatty acid, fatty , fatty amines, methyl esther, glycerol).
Produk-produk tersebut menjadi bahan baku bagi beberapa industri seperti
farmasi, toiletries, dan kosmetik (Depperin, 2009; ICN, 2009a; Gumbira-Sa’id,
2010 ).
Menurut Didu (2003), dari segi nilai tambah, semakin jauh
diversifikasi produk dilakukan akan memberikan nilai tambah yang sangat
signifikan. Produk level pertama kelapa sawit berupa CPO akan memberikan nilai
tambah sekitar 30 persen dari nilai TBS. Pengolahan selanjutnya akan memberikan
masing-masing nilai tambah berbasis TBS sebagai berikut: minyak goreng (50
persen), asam lemak/fatty acid (100persen), ester (150–200 persen), surfaktan
atau emulsifier (300–400 persen), dan kosmetik (600–1000 persen).
Gambar Pohon Industri Kelapa Sawit
Sumber : Fadhil Hasan, Nilai Tambah
Kelapa Sawit (2011)
2. Produksi dan Konsumsi Minyak Nabati
Dunia
Produksi CPO dunia mengalami
lonjakan pertumbuhan yang cukup mengesankan dalam beberapa tahun terakhir,
yakni dari 33,5 juta ton pada 2004 menjadi 43,3 juta ton pada 2008 atau tumbuh
rata-rata 6,63 persen per tahun. Lonjakan pertumbuhan ini terutama disebabkan
produksi CPO Indonesia yang meningkat 5,9 juta ton pada periode yang sama yakni
dari 13,6 juta ton menjadi 19,2 juta ton atau bertumbuh rata-rata 9,1 persen
per tahun. Produksi CPO dunia diperkirakan akan terus mengalami kenaikan, yakni
mencapai 45,1 juta ton pada 2009 dan 47,1 juta ton pada 2010 yang dipicu oleh
semakin meningkatnya permintaan China dan India, konsumen CPO terbesar dunia
(Miranti, 2010).
Permintaan minyak kelapa sawit dunia
terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2008, total volume perdagangan minyak
nabati dunia mencapai 160 juta ton, 10 dimana 48 juta ton (30 persen)
diantaranya berasal dari minyak kelapa sawit, disusul oleh minyak kedelai (23
persen). Tingginya permintaan minyak kelapa sawit ini terjadi karena banyaknya
produk yang dihasilkan dengan menggunakan bahan baku minyak kelapa sawit
(Syaukat, 2010) di samping harga CPO yang jauh lebih murah hingga mencapai 200
USD/ton kekamibang rapeseed oil (Tan et al., 2009).
Konsumsi CPO dunia meningkat pesat
dari 29,2 juta ton pada 2004 menjadi 43,3 juta ton pada 2008 atau bertumbuh
rata-rata 9,9 persen per tahun, jauh diatas pertumbuhan produksi yang hanya 6,6
persen per tahun. Oil World memperkirakan konsumsi CPO dunia akan terus
bertumbuh menjadi 45,3 juta ton pada 2009 dan 47,5 juta ton pada 2010, sejalan
dengan meningkat pesatnya permintaan CPO di negara-negara konsumen khususnya
China, India, dan Uni Eropa (USDA, 2009; 2010; Miranti, 2010). Perkembangan
produksi dan konsumsi CPO dunia disajikan pada tabel berikut :
Tabel Perkembangan Produksi dan
Konsumsi CPO
3. Potensi Produksi Nasional
Produksi CPO Indonesia tumbuh
signifikan rata-rata 13,4 persen selama satu dasawarsa terakhir, yang didukung
oleh pertumbuhan areal tanam rata-rata 6,7 persen per tahun. Pangsa produksi
CPO Indonesia di pasar internasional senantiasa menunjukkan tren peningkatan.
Total produksi Minyak Sawit (CPO dan CPKO) dunia pada 2010 sebesar 47,1 juta
ton, di mana Indonesia dan Malaysia menguasai lebih dari 80 persen produksi minyak
sawit dunia. Pangsa CPO Indonesia sebesar 47,0 persen sedangkan Malaysia
sebesar 38,2 persen, sisanya sebesar 14,8 persen merupakan sharesejumlah
negara-negara lain.
Peningkatan pangsa produksi CPO
tidak lepas dari dukungan bertambahnya luas areal kebun kelapa sawit. Wilayah
Pulau Sumatera merupakan kontributor terbesar produksi kelapa sawit Indonesia
dengan luas lahan sekitar 70 persen dari total lahan kelapa sawit
nasional.Nanggroe Aceh Darussalam memiliki luas areal 454,4 ribu ha, Sumatera
Utara 258,6 ribu ha, Sumatera Barat 47,7 ribu ha, Riau 1,5 juta ha, Jambi 511,4
ribu ha, Sumatera Selatan 1,3 juta ha, Kalimantan Barat 1,2 juta ha, Kalimantan
Tengah 1,4 juta ha, Kalimantan Kamiur 2,8 juta ha, Kalimantan Selatan 965,5
ribu ha, Papua 1,5 juta ha, dan Sulawesi Tengah 215,7 ribu ha.
Tabel
Pertumbuhan Luas Areal Kelapa Sawit
4. Market Share Minyak Sawit
Ekspor minyak sawit Indonesia
semester I 2011 sebesar 8,20 juta metrik ton, meningkat 730 ribu metrik ton
dari tahun sebelumnya (meningkat 8,9 persen). Ekspor pada semester I 2010
sebesar 7,47 juta ton metrik. Ekspor minyak kelapa sawit terdiri dari minyak
sawit dan minyak kernel, dan dalam bentuk minyak mentah dan diproses. Pangsa
ekspor minyak sawit di Indonesia pada semester I 2011 sebesar 92,07 persen
(7,55 juta metrik ton), sedangkan pangsa minyak kernel hanya 7,97 persen (652
ribu metrik ton) [GAPKI, 2011].
Dari kedua jenis minyak sawit
tersebut Indonesia mengekspor lebih banyak minyak mentah dibandingkan dengan
minyak olahan. Berdasarkan data GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit
Indonesia) semester I 2011 ekspor minyak sawit mentah mencapai 56,02 persen,
sementara minyak sawit diproses hanya 43,98 persen. Namun, apabila dibandingkan
dengan ekspor 2010, persentase minyak sawit olahan mengalami penurunan, di sisi
lain persentase minyak sawit mentah telah meningkat. Pada 2010, ekspor minyak
sawit olahan 46,19 persen dari ekspor total minyak sawit dan minyak sawit
mentah 53,81 persen.
Kondisi sebaliknya terjadi pada
ekspor minyak kernel, di mana ada peningkatan ekspor minyak kernel yang telah
diproses, sementara minyak kernel mentah menurun.
Dari 96 ribu metrik ton minyak
kernel diproses (14,93 persen) pada semester I 2010 meningkat menjadi 107 ribu
metrik ton (16,42 persen) pada semester I 2011. Untuk ekspor minyak kernel
mentah, menurun dari 552 ribu metrik ton (85,06 persen) pada semester I 2010
menjadi 546 ribu metrik ton (83,58 persen) pada semester I 2011 (GAPKI, 2011).
Peningkatan minyak kelapa sawit Indonesia didorong oleh kenaikan impor ke India
dan China, India membeli setengah impor minyak sawit dari Indonesia dan
Malaysia. India telah melampaui China sebagai pembeli terbesar di dunia minyak
sawit.
a.
Nilai
Tambah Bisnis
Dilihat dari nilai tambah bisnis, industri pengolahan CPO
menjadi salah satu industri yang prospektif untuk dikembangkan ke depan. Selain
untuk industri minyak makanan dan industri oleokimia, kelapa sawit dapat juga
menjadi sumber energi alternatif.
Kementerian Pertanian (2005) mencatat konsumsi minyak sawit
domestik mencapai 50-60 persen dari produksi. Sebagian besar penggunaannya,
hampir 85 persen, untuk pangan sedangkan untuk industri oleokomia hanya sekitar
15 persen. Nilai tambah ekonomi (baik nilai tambah bisnis maupun nilai tambah
teknis) produk turunan CPO sangat bervariasi, tergantung dari harga bahan baku,
tingkat kesulitan dalam ekstraksi produk, dan harga produk turunan di pasar.
Tetapi, satu hal yang pasti, semakin dapat dimanfaatkan/dibutuhkan produk
turunan tersebut, nilai tambahnya semakin tinggi. CPO yang diolah menjadi sabun
mandi saja sudah menghasilkan nilai tambah sebesar 300 persen, terlebih lagi
jika dapat dijadikan kosmetik yang nilai tambahnya mencapai 600 persen. Nilai
tambah CPO jika diolah menjadi minyak goreng sawit sebesar 60 persen, sedangkan
jika menjadi margarin mencapai 180 persen (Kementerian Perindustrian, 2011).
Oleh karena itu, pemerintah terus berusaha mendorong
pengembangan produk turunan CPO, baik untuk keperluan bahan baku industri
pangan maupun non pangan. Produk pangan yang dapat dihasilkan dari CPO dan
CPKO, seperti emulsifier, margarin, minyak goreng, shortening, susu full krim,
konfeksioneri, yogurt, dan lain-lain. Sedangkan produk non pangan yang
dihasilkan dari CPO dan CPKO, seperti epoxy compound, ester compound, lilin,
kosmetik, pelumas, fatty alcohol, biodiesel, dan lain-lain.
Di luar itu,juga terdapat produk samping/limbah, seperti
tandan kosong untuk bahan kertas (pulp), pupuk hijau (kompos), karbon, rayon;
cangkang biji untuk bahan bakar dan karbon; serat untuk fibre board dan bahan
bakar; batang pohon dan pelepah untuk mebel pulp paper dan makanan ternak;
limbah kernel dan sludge dapat digunakan untuk makanan ternak (Kementerian
Pertanian, 2011). Dengan demikian, banyak nilai tambah yang dapat dihasilkan
dari sebuah tanaman bernama kelapa sawit, akan sangat disayangkan jika hanya
diekspor dalam bentuk mentah.
b.
Forward-backward
Linkage
Berdasarkan model dan data Input-Output 2008 dapat digunakan
untuk mengetahui inter-industry connectivity CPO, terutama indikator
keterkaitan ke depan (forward linkage) dan keterkaitan ke belakang (backward
linkage). Gambar di bawah ini menunjukkan sektor yang mempunyai keterkaitan ke
depan tertinggi adalah industri minyak dan lemak, kemudian kelapa sawit,
industri kimia, serta industri makanan lainnya. Sedangkan sektor yang mempunyai
keterkaitan langsung ke belakang tertinggi adalah sektor industri pupuk dan
pestisida, disusul lembaga keuangan, kelapa sawit, bangunan, dan jasa lainnya.
c.
Potensi
Permintaan
Siering peningkatan harga CPO di pasar internasional, harga
produk hilirnya pun tentu juga mengalami peningkatan. Sekadar gambaran, untuk
produk hilirisasi minyak goreng, harga rata-rata minyak goreng curah dan minyak
goreng kemasan dalam dua tahun terakhir mengalami peningkatan cukup signifikan.
d.
Peluang
dan Kendala Pengembangan Industri Sawit Berkelanjutan
Pengembangan agroindustri akan sangat strategis jika
dijalankan secara terpadu dan berkelanjutan. Terpadu artinya ada keterkaitan
usaha sektor hulu dan hilir secara sinergis dan produktif serta ada keterkaitan
antarwilayah, antar sektor bahkan antar komoditas (Djamhari, 2004).
Berkelanjutan, sebagaimana dirumuskan oleh World Commission on Environment and
Development (WCED) tahun 1987, adalah “Pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan
sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi berikutnya untuk memenuhi
kebutuhannya” (Plummer, 2005).
Saat ini masalah yang dihadapi oleh industri CPO nasional
terutama infrastruktur termasuk akses jalan dan konektivitasnya dengan
pengangkutan di pelabuhan untuk mendukung industri pengolahan CPO. Masalah lain
yang dihadapi adalah tidak selaras dengan pertumbuhan industri turunannya.
Pertumbuhan industri CPO dan produk CPO selama ini hanya diikuti pertumbuhan
industri hulu. Seperti, industri fatty acid, fatty alcohol, glycerine, methyl
esther. Sampai saat ini CPO belum dimanfaatkan secara opkamial untuk
pengembangan industri hilir. Produk industri hilir hasil olahan CPO yang
pengembangannya masih minim seperti surfactant, farmasi, kosmetik, dan produk
kimia dasar organik. Padahal dengan mengembangkan industri hilir, maka nilai
mata rantai dan nilai tambah produk CPO akan semakin tinggi. Apalagi, produk
turunan CPO mempunyai hubungan dengan sektor usaha dan kebutuhan masyarakat di
bidang pangan. Misalnya, pupuk, pestisida, bahan aditif makanan, pengawet
makanan, penyedap makanan, kemasan plastik (Afifuddin dan Kusuma, 2007; Dou,
2009; ICN, 2009a).
5. Pengembangan Karet dan Industri
Karet Nasional
Karet merupakan salah satu komoditi
perkebunan penting, baik untuk sumber pendapatan, kesempatan kerja, pendorong
pertumbuhan ekonomi sentra-sentra baru di wilayah sekitar perkebunan karet,
maupun pelestarian lingkungan dan sumber daya hayati. Tanaman karet merupakan
tanaman perkebunan yang tumbuh subur di Indonesia.
Tanaman ini menghasilkan getah karet
(lateks) yang dapat diperdagangkan di masyarakat berupa lateks segar,
slab/koagulasi, ataupun sit asap/sit angin. Selanjutnya,produk-produk tersebut
digunakan sebagai bahan baku pabrik crumb rubber (karet remah), yang menghasilkan
berbagai bahan baku untuk berbagai industri hilir, seperti ban, bola, sepatu,
karet, sarung tangan, baju renang, karet gelang, mainan dari karet, dan
berbagai produk hilir lainnya. Tersedianya lahan yang luas memberikan peluang
untuk menghasilkan produksi karet alam dalam jumlah besar. Di sisi lain,
produksi karet alam juga dapat ditingkatkan dengan perbaikan teknologi
pengolahan karet untuk meningkatkan efisiensi, sehingga lateks yang dihasilkan
dari getah bisa lebih banyak dan menghasilkan material sisa yang semakin
sedikit.
a.
Potensi
Produksi
Indonesia berada di peringkat kedua sebagai negara produsen
karet alam terbesar di dunia pada 2010 dengan pangsa sekitar 28 persen dari
produksi karet alam dunia. Peringkat pertama ditempati Thailand dengan pangsa
produksi sekitar 30 persen dari produksi karet alam dunia. Posisi ini tidak
berubah dibanding tahun sebelumnya, di mana produksi karet Indonesia pada 2009
sebesar 2,4 juta ton berada di urutan kedua dunia, sementara Thailand menempati
urutan pertama dengan 3,1 juta ton, dan Malaysia di urutan ketiga dengan 951
ribu ton (Kina, 2010). Padahal kebun karet Indonesia merupakan yang terluas di
dunia, yaitu mencapai 3,40 juta ha, disusul Thailand dengan 2,67 juta ha dan
Malaysia dengan 1,02 juta ha (Kementerian Pertanian, 2009). Ini menunjukkan
bahwa produktivitas perkebunan karet Indonesia masih tertinggal dibanding
pesaing utama, Thailand.
Pemerintah telah menetapkan sasaran peningkatan produksi
karet alam Indonesia sebesar 3-4 juta ton per tahun pada 2020. Upaya peningkatan
produksi ini selain membutuhkan peningkatan produktivitas lahan tentunya juga
membutuhkan insentif harga produk karet yang menguntungkan. Dari sisi harga
ini, pada pertengahan 2006, karet alam dunia mencapai harga US$2,5 per kg.
Harga tersebut sangat menarik bagi petani dan pelaku usaha karet lainnya. Tren
peningkatan terus terjadi hingga 2008, harga karet dunia mencapai US$3,4 per
kg. Ini merupakan harga karet alam tertinggi selama 50 tahun terakhir
(MediaData, 2009). Sementara dari segi areal perkebunannya, Indonesia memilik
hamparan kebun karet terluas di dunia. Menurut catatan Ditjen Perkebunan
Kementerian Pertanian, sampai 2008 lalu luas areal perkebunan karet Indonesia
mencapai sekitar 3,47 juta ha dengan total produksi karet alam sebanyak 2,9
juta ton. Pada 2009, luas areal perkebunan karet bertambah menjadi 3,52 juta ha
dengan produksi sebanyak 3,0 juta ton (Media Data, 2009).
b.
Market
Share Karet
Karet alam termasuk sepuluh komoditas ekspor terbesar
Indonesia dari 2008-2010, dengan nilai ekspor US$7.329,1 juta pada 2010 (UN
Comtrade, 2011). Sementara dilihat dari negara tujuan ekspor, sepanjang
2005-2009 ekspor karet Indonesia dalam bentuk remah sebagian besar tertuju ke
Amerika Serikat dengan rata-rata pangsa 28 persen, disusul China 16 persen,
Jepang 14 persen, dan Singapura 6 persen. Dengan pangsa ekspor ke Amerika
Serikat yang cukup besar tersebut, maka wajar ketika krisis global melanda
Amerika Serikat ekspor Indonesia ke negara tersebut menurun tajam. Padahal
ekspor karet alam Indonesia sempat mencapai angka tertinggi pada 2007 sebesar
2,4 juta ton, namun karena krisis tersebut ekspor menurun pada 2008 menjadi 2,2
juta ton dan turun lagi pada2009 menjadi 1,9 juta ton.
Ekspor karet alam Indonesia didominasi oleh jenis SIR/TSR
(Standard Indonesia Rubber/Technically Specified Rubber) yangmencapai
93,6persen dari total ekspor. Di antara karet alam jenis SIR itu, jenis karet
alam yang paling banyak diminta oleh kalangan industri ban adalah SIR
20.Sementara itu, ekspor produk karet masih relatif kecil kendati terus
memperlihatkan peningkatan. Pada 2004 nilai ekspor produk karet Indonesia
mencapai US$774,9 juta dan naik menjadi US$1,5 miliar pada 2008. Produk karet
yang diekspor terutama berupa ban, sarung tangan karet dan produk karet lainnya.
Pada 2008 ekspor ban Indonesia mencapai US$ 934 juta, sedangkan nilai ekspor
sarung tangan karet mencapai US$ 175,9 juta
Konsumsi karet alam di dalam negeri sejauh ini masih relatif
kecil. Pada 2009 volume karet alam yang dikonsumsi di dalam negeri hanya sekitar
15persen (422ributon) dari total produksi karet alam nasional(Gambar 4.9).Dari
jumlah konsumsi domestik itu, sekitar 55persendi antaranya berasal dari
konsumsi industri ban. Konsumsi domestik lainnya berasal dari industri
vulkanisir, industri sepatu dan alas kaki, sarung tangan dan benang, produk
karet industri lainnya, peralatan rumah tangga,dan peralatan olahraga.
c.
Nilai
Tambah Bisnis
Prospek bisnis pengolahan crumb rubber ke depan diperkirakan
tetap menarik, karena marjin keuntungan yang diperoleh pabrik relatif pasti.
Marjin pemasaran berkisar antara 3,7-32,5 persen dari harga FOB (Free On
Board), tergantung pada tingkat harga yang berlaku (Kementerian Pertanian,
2007). Tingkat harga FOB itu sendiri sangat dipengaruhi oleh harga dunia yang
mencerminkan permintaan dan penawaran karet alam, dan harga beli pabrik
dipengaruhi kontrak pabrik dengan pembeli/buyer (biasanya pabrik ban) yang
harus dipenuhi. Pada umumnya marjin yang diterima pabrik akan semakin besar
jika harga meningkat.
Pemanfaatan karet alam di luar industri ban kendaraan di
Indonesia masih relative kecil, mengingat industri karet di luar ban umumnya
dalam skala kecil atau menengah.
Sementara itu, industri berbasis lateks pada saat ini belum
berkembang karena banyak menghadapi kendala. Kendala utama adalah rendahnya
daya saing produk-produkindustri lateks Indonesia bila dibandingkan dengan
produsen lain, terutama Malaysia.
Selain itu, produktivitas karet Indonesia juga lebih rendah
dibanding India, hanya sekitar 50 persen saja dari produktivitas karet di India
(Kementerian Koordinator Perekonomian, 2011). Meskipun demikian, di balik
tantangan inilah sesungguhnya letak peluang bisnis hilirisasi industri karet
alam mengingat pasar yang cukup potensial dan kompetisi antarprodusen di Indonesia
yang relatif masih terbatas.
d.
Nilai
Tambah Teknis
Indonesia belum mampu memanfaatkan produk karet alam secara
opkamial. Dari sekitar 2,9 juta ton produk karet nasional, sebanyak 85 persen
diekspor dalam bentuk bahan baku (crumb rubber, sheet, lateks, dan sebagainya).
Hanya sekitar 15 persen produk karet alam yang diserap oleh industri rekayasa
di dalam negeri (Media Data, 2009). Kondisi ini jauh berbeda dibandingkan
dengan Malaysia, dimana industri hilir dalam negeri mampu menyerap sekitar 70
persen dari total produksi negara tersebut (Kementerian Pertanian, 2007).
Rendahnya konsumsi karet alam domestik mencerminkan belum berkembangnya
industri hilir yang berbasis karet alam. Hal ini mengakibatkan perolehan nilai
tambah komoditi karet masih relatif rendah.
e.
Pohon
Industri Karet
Banyak produk turunan yang dapat dikembangkan dari karet
alam. Hasil utama dari pohon karet adalah lateks, yang dapat dijual atau
diperdagangkan dimasyarakat berupa lateks segar, slab (koagulasi), ataupun sit
asap (sit angin). Selanjutnya, produkproduk tersebut akan digunakan sebagai
bahan baku pabrik crumb rubber, yang menghasilkan berbagai bahan baku untuk
berbagai industri hilir seperti ban, bola, sepatu, karet busa ,sarung tangan,
mainan dari karet, dan berbagai produk hilir lainnya.
f.
Forward-backward
Linkage
Berdasarkan model dan data Input-Output 2008 dapat digunakan
untuk mengetahui inter industry connectivity karet, terutama indikator
keterkaitan ke depan (forward linkage) dan keterkaitan ke belakang (backward
linkage). Sektor yang mempunyai keterkaitan ke depan tertinggi adalah industri
barang karet dan plastik, kemudian karet, industri tekstil, pakaian dan kulit,
serta industri kimia. Sedangkan sektor yang mempunyai keterkaitan langsung ke
belakang tertinggi adalah sektor karet, disusul industri pupuk dan pestisida,
industri kimia, perdagangan, serta bangunan.
g.
Potensi
Permintaan
Permintaan karet alam dunia cenderung meningkat dari periode
2008-2011. Peningkatan permintaan terutama dari China, India, Brazil dan
negara-negara yang mempunyai pertumbuhan ekonomi tinggi di Asia Pasifik. Bahkan
pada tahun 2008 dan 2010 sempat terjadi defisit permintaan karet masing-masing
sebesar 47 ribu ton dan 377 ribu ton, terutama karena meningkatnya permintaan
dari Asia Pasifik. Menurut IRSG (International Rubber Studi Group) diperkirakan
akan terjadi kekurangan pasokan karet alam dalam dua dekade ke depan
(Kementerian Perindustrian, 2007).
Tren peningkatan permintaan karet alam dunia mendorong
kenaikan harga. Hal ini merupakan insentif bagi produsen karet untuk
meningkatkan produksinya. Pada akhir 2008, harga karet alam di pasar global
sempat turun hingga ke level terendah senilai US$1,2 per kg. Hal ini disebabkan
turunnya harga minyak mentah dunia serta terjadinya krisis keuangan di Amerika Serikat.
Padahal, selama ini Amerika Serikat merupakan importir karet alam terbesar
dunia bersama China dan Jepang. Namun, tren peningkatan harga kembali terjadi
baik untuk karet TSR20 maupun RSS3 sejak triwulan I 2009 hingga triwulan I
2011.
h.
Lokasi
Penyebaran
Sejumlah lokasi di Indonesia memiliki keadaan lahan yang
cocok untuk penanaman karet, sebagian besar berada di wilayah Sumatera dan
Kalimantan. Dengan adanya penyebaran lahan‐lahan penanaman pohon karet hampir
di seluruh provinsi yang ada di Indonesia saat ini akan membantu dalam
pemenuhan kebutuhan karet alami dan pemenuhan industri pengolahan hasil dari
pengolahan pohon karet.
Pengembangan industri karet di daerah Sumatera merupakan hal
yang cukup realistis untuk segera diwujudkan. Dengan pangsa produksi karet alam
sebesar 65 persen dari total produksi nasional ketersediaan bahan baku di
wilayah ini relatif lebih terjamin (Kementerian Koordinator Perekonomian,
2011). Lebih dari itu, dengan semakin meningkatnya industri otomotif di dunia
diharapkan permintaan karet alami akan semakin meningkat ke depan.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Nilai
tambah (value added) adalah pertambahan nilai suatu komoditas karena mengalami
proses pengolahan, pengangkutan ataupun penyimpanan dalam suatu produksi.
Komoditas agroindustri merupakan subsektor pertanian yang
diharapkan dapat berperan penting terhadap pertumbuhan ekonomi, penerimaan
ekspor, penyediaan lapangan kerja, pengurangan kemiskinan, dan pemerataan
pembangunan wilayah.
Industri oleokimia adalah industri antara yang berbasis
minyak kelapa sawit (CPO) dan minyak inti sawit (PKO). Dari kedua jenis produk
ini dapat dihasilkan berbagai jenis produk antara sawit yang digunakan sebagai
bahan baku bagi industri hilirnya baik untuk kategori pangan ataupun non
pangan. Di antara kelompok industri antara sawit
Komoditas kelapa sawit merupakan primadona perdagangan
ekspor Indonesia pada sub-sektor perkebunan dan merupakan salah satu industri
pertanian yang strategis. Prospeknya ditunjukkan oleh peningkatan produksi yang
sejalan dengan tingkat permintaannya. Kelapa sawit juga merupakan salah satu
dari sedikit komoditas agribisnis Indonesia yang memiliki daya saing di pasar
Internasional
DAFTAR
PUSTAKA
http://agricomunindo.blogspot.com/2012/09/normal-0-false-false-false-en-us-x
none.html
http://bukudg.blogspot.com/2015/05/AGRIBISNIS.html
http://xerma.blogspot.com/2014/01/pengertian-nilai-tambah-produk-pertanian.html
MAKALAH
NILAI
TAMBAH MANAJEMEN AGRIBISNIS
Disusun
Oleh
Nama : Anwar Syafi’i
Kelas
: A
Semester : V (lima)
UNIVERSITAS
GUNUNG RINJANI
2019
KATA PENGANTAR
Sembah sujud penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena
anugerah dan rahmat-Nya jualah sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Dalam
penyusunan makalah ini, penulis telah berusaha semaksimal mungkin, yang mana
telah memakan waktu dan pengorbanan yang tak ternilai dari semua pihak yang
memberikan bantuannya, yang secara langsung merupakan suatu dorongan yang
positif bagi penulis ketika menghadapi hambatan-hambatan dalam menghimpun bahan
materi untuk menyusun makalah ini.
Namun penulis menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh
dari kesempurnaan, baik dari segi penyajian materinya maupun dari segi
bahasanya. Karena itu saran dan kritik yang bersifat konstruktif senantiasa
penulis harapkan demi untuk melengkapi dan menyempurnakan makalah ini.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .........................................................................................
DAFTAR ISI .......................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................
A. Latar
Belakang .........................................................................................
B. Rumusan
Masalah.....................................................................................
C. Tujuan .......................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................
A. Pengertian
Nilai Tambah Dalam Manajemen Agribisnis...........................
B.
Beberapa Jenis Produksi Dan Nilai Tambah
Yang Terdapat
Di
Dalamnya ............................................................................................
BAB III PENUTUP.............................................................................................
A.
Kesimpulan................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................
Tidak ada komentar:
Posting Komentar