BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada dasarnya pengertian mengenai riba,
bank dan asuransi sudah sangat familiar di mata masyarakat. Namun sebagian
mereka tidak mengetahui pasti kedudukannya dalam hukum islam. Seperti halnya
riba adalah salah satu usaha mencari rizeki dengan cara yang tidak benar dan
dibenci Allah swt. Sedangkan Bank menurut jumhur ulama’ merupakan perkara yang
belum jelas kedudukan hukumnya dalam Islam karena bank merupakan sebuah produk
baru yang tidak ada nashnya. Dan ketentuan mengenai asuransi masuk dalam
kategori objek ijtihad karena ketidakjelasan ketentuan hukumnya. Karena memang
ketetuan mengenai asuransi, baik di dalam al-qur’an maupun hadits Nabi saw.
Termasuk para ulama tidak banyak yang membicarakannya.
Oleh sebab itu, agar masyarakat lebih mengetahui dengan pasti mengenai riba, bank, dan asuransi. Maka kami akan menguraikan mengenai kedudukan riba , bank dan asuransi.
Oleh sebab itu, agar masyarakat lebih mengetahui dengan pasti mengenai riba, bank, dan asuransi. Maka kami akan menguraikan mengenai kedudukan riba , bank dan asuransi.
B.
Rumusan masalah
1.
Pengertian Riba.
2.
Dasar hukum Riba.
3.
Macam-macam Riba.
4.
Hikmah dilarangnya Riba.
5.
Pengertian Bank.
6.
Dasar Hukum Bank.
7.
Jenis- Jenis Bank.
8.
Perbedaan Bank non islam (konvensional) dengan Bank islam.
9.
Pengertian Asuransi.
10.
Dasar Hukum Asuransi.
11.
Jenis-Jenis Asuransi.
C.
Tujuan Penulisan
1. Agar seseorang
dapat memahami pengertian Riba, Bank, dan Asuransi.
2. Agar dapat
mengetahui apakah dalam transaksi Riba, Bank dan Asuransi, halal atau haram,
menurut hukum islam.
3. Mengetahui hikmah
dari Riba, Bank dan Asuransi dalam kehidupan sehari – hari.
BAB II
PENDAHULUAN
A.
Riba
1.
Pengertian dan
Dasar Hukum Riba
Riba yang berasal
dari bahasa arab, artinya tambahan (ziyadah/addition, Inggris), yang berarti:
tambahan pembayaran atas uang pokok pinjaman. Pendapat Al-Jurjani riba adalah
kelebihan/tambahan pembayaran tanpa ada ganti/imbalan, yang di syaratkan bagi
salah seorang dari dua orang yang membuat akad.
Syekh Muhammad
Abduh mendefinisikan, riba adalah penambahan-penambahan yang diisyaratkan oleh
orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya atau uangnya
karena janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah ditentukan.
2.
Dasar hukum riba
Dasar hukum Hukum
melakukan riba adalah haram menurut Al-Qur’an, sunnah dan ijma’ menurut ulama.
Keharaman riba terkait dengan sistem bunga dalam jual beli yang bersifat
komersial. Di dalam melakukan transaksi atau jual beli, terdapat keuntungan
atau bunga tinggi melebihi keumuman atau batas kewajaran, sehingga merugikan
pihak-pihak tertentu. Fuad Moch. Fahruddin berpendapat bahwa riba adalah sebuah
transaksi pemerasan.
Dasar hukum
pengharaman riba menurut Al-Qur’an, sunnah dan ijma’ para ulama adalah sebagai
berikut:
a.
Al-Qur’an
. . إِنَمَا الْبَيْعُ مِثْلَ الرِّبَوا وَأَحَلَّ اللَّهُ
الْبَيْعَ وَحَرَمَ الرِّبَوا
“...Sesumgguhnya jual beli itu sama dengan riba,
padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Q.S.
Al-Baqarah: 275)
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَوا وَيُرْبِى
الصَّدَقَتِ وَاللَّهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ{276}
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan
sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan
selalu berbuat dosa. ”
b.
Sunnah Rasulullah
saw.
عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهَ قَالَ: لَعَنَ رَسُوْلُ اللَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
اَكِلَ الرِّبَاوَمَوْ كِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ: هُمْ
سَوَاءُ)متفق عليه)
. . . {275}
. . . {275}
“Dari Jabir r.a. ia
berkata, ‘Rasulullah saw. telah melaknati orang-orang yang memakan riba, orang
yang menjadi wakilnya (orang yang memberi makan hasil riba), orang yang
menuliskan, orang yang menyaksikannya, (dan selanjutnya), Nabi bersabda, mereka
itu semua sama saja’.” (H.R. Muslim
إِحْتَنِبُوْا
السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ: قَالُوْا: يَارَسُوْلَ اللَّهُ وَمَاهُنَ قَالَ:
الشِّرْكَ بِاللَّهِ ، وَالسِّحْرُ ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِيْ حَرَّمَ اللَّهُ
اِلاَّ بِالْحَقِّ وَاَكْلُ الرِّبَا ، وَاَكْلُ مَالَ الْيَتِيْمِ الزَّحْفِ
وَقَدْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ)متفق عليه)
“Jauhilah tujuh hal
yang membinasakan”. Para sahabat bertanya,”Apakah tujuh hal tersebut ya
Rasulullah?” Rasulullah saw. bersabda, “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh
jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba,
memakan harta anak yatim, melarikan diri pada saat perang, dan menuduh berzina
wanita yang suci, beriman, dan lupa (lupa dari maksiat).” (H.R. Bukhari dan
Muslim(
c.
Ijma’ para ulama
Para ulama sepakat
bahwa seluruh umat Islam mengutuk dan mengharamkan riba. Riba adalah salah satu
usaha mencari rizki dengan cara yang tidak benar dan dibenci Allah SWT. Praktik
riba lebih mengutamakan keuntungan diri sendiri dengan mengorbankan orang lain.
Riba akan menyulitkan hidup manusia, terutama mereka yang memerlukan
pertolongan. Menimbulkan kesenjangan sosial yang semakin besar antara yang kaya
dan miskin, serta dapat mengurangi rasa kemanusiaan untuk rela membantu. Oleh
karena itu Islam mengharamkan rib
3.
Macam-macam Riba
Para ulama fiqih membagi riba menjadi empat
macam, yaitu:
a.
Riba Fadl
Riba fadl adalah tukar menukar atau jual
beli antara dua buah barang yang sama jenisnya, namun tidak sama ukuranya yang
disyaratkan oleh orang yang menukarnya, atau jual beli yang mengandung unsur
riba pada barang yang sejenis dengan adanya tambahan pada salah satu benda
tersebut. Sebagai contohnya adalah tukar-menukar emas dengan emas atau beras
dengan beras, dan ada kelebihan yang disyaratkan oleh orang yang menukarkan.
Kelebihan yang disyaratkan itu disebut riba fadl. Supaya tukar-menukar seperti
ini tidak termasuk riba, maka harus ada tiga syarat yaitu:
a. Barang yang
ditukarkan tersebut harus sama.
b. Timbangan atau
takarannya harus sama.
c. Serah terima pada
saat itu juga.
b.
Riba Nasi’ah
Riba nasi’ah yaitu tukar-menukar dua barang
yang sejenis maupun yang tidak sejenis atau jual beli yang pembayarannya
disyaratkan lebih oleh penjual dengan waktu yang dilambatkan. Menurut ulama
Hanafiyah, riba nasi’ah adalah memberikan kelebihan terhadap pembayaran dari
yang ditangguhkan, memberikan kelebihan pada benda dibanding untung pada benda
yang ditakar atau yang ditimbang yang berbeda jenis atau selain yang ditakar
dan ditimbang yang sama jenisnya. Maksudnya adalah menjual barang dengan
sejenisnya, tetapi yang satu lebih banyak dengan pembayaran diakhirkan, seperti
menjual 1 kg beras dengan 1 ½ kg beras yang dibayarkan setelah dua bulan
kemudian. Kelebihan pembayaran yang disyaratkan inilah yang disebut riba
nasi’ah.
عَنْ سَمُرَةَبْنِ جُنْدُبٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ أَنَّالنَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ
الْحَيَوَانِ بِالْحَيَوَانِ نَسِيْءَةً
“Dari Samurah bin Jundub, sesungguhnya Nabi
saw telah melarang jual beli binatang yang pembayarannya diakhirkan” (H.R Lima
ahli hadist)
c.
Riba Qardi
Riba qardi adalah meminjamkan sesuatu
dengan syarat ada keuntungan atau tambahan dari orang yang meminjam. Misalnya
Ali meminjam uang kepada Abbas sebesar Rp.10.000, kemudian Abbas mengharuskan
kepada Ali untuk mengembalikan uang itu sebesar Rp. 11.000. inilah yang disebut
riba qardi.
d.
Riba yad
Riba yad yaitu berpisah dari tempat akad
jual beli sebelum serah terima. Contohnya, orang yang membeli suatu barang
sebelum ia menerima barang tersebut dari penjual, penjual dan pembeli tersebut
telah berpisah sebelum serah terima barang itu. Jual beli ini dinamakan riba
yad. Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa riba yad adalah jual beli yang
mengakhirkan penyerahan (al-qabdu), yakni bercerai berai antara dua orang yang
berakad sebelum serah terima, seperti menganggap sempurna jual beli antara
gandum dan syair tanpa harus saling menyerahkan dan menerima ditempat akad.
Menurut ulama Syafi’iyah bahwa antara riba yad dan riba nasi’ah sama-sama terjadi pada pertukaran barang yang tidak jelas. Perbedaannya, riba yad mengakhirkan pemegang barang, sedangkan riba nasi’ah mengakhirkan hak dan ketika akad dinyatakan bahwa waktu pembayaran diakhirkan meskipun sebentar. Dasar hadits yang mengungkapkan ketertolakan sistem ini adalah:
Menurut ulama Syafi’iyah bahwa antara riba yad dan riba nasi’ah sama-sama terjadi pada pertukaran barang yang tidak jelas. Perbedaannya, riba yad mengakhirkan pemegang barang, sedangkan riba nasi’ah mengakhirkan hak dan ketika akad dinyatakan bahwa waktu pembayaran diakhirkan meskipun sebentar. Dasar hadits yang mengungkapkan ketertolakan sistem ini adalah:
إِنَّمَا الرِّبَا فِى النَّسِيْئَةِ)رواه
البحارى و مسلم )
“ Tidak ada riba kecuali pada riba nasi
”H.R. Bukhari Muslim
Ada syarat-syarat agar jual beli tidak menjadi riba, yaitu:
Ada syarat-syarat agar jual beli tidak menjadi riba, yaitu:
1. Menjual sesuatu
yang sejenis ada tiga syarat, yaitu:
a.
Serupa timbangan dan banyaknya.
b.
Tunai.
c.
Timbang terima dalam akad (ijab kabul) sebelum meninggalkan
majelis akad.
2. Menjual sesuatu
yang berlainan jenis ada dua syarat, yaitu
a.
Tunai.
b.
Timbang terima dalam akad (ijab kabul) sebelum meninggalkan
majelis akad.
Semua agama Samawi mengharamkan riba. Hal
ini disebabkan karena riba mempunyai bahaya yang sangat berat. Diantaranya
adalah:
1. Dapat menimbulkan
permusuhan antar pribadi dan mengikis habis semangat kerja sama atau saling
tolong-menolong, membenci orang yang mengutamakan kepentingan diri sendiri,
serta yang mengeksploitasi.
2. Dapat menimbulkan
tumbuh suburnya mental pemboros yang tidak mau bekerja keras, dan penimbunan
harta di salah satu pihak. Islam menghargai kerja sama sebagai sarana pencarian
nafkah.
3. Sifat riba sangat
buruk sehingga Islam menyerukan agar manusia suka mendermakan harta kepada
saudaranya dengan baik jika saudaranya membutuhkan harta.
4.
Hikmah Dilarangnya
Riba
Hikmah
diharamkannya riba yaitu:
a. Menghindari tipu
daya diantara sesama manusia.
b. Melindungi harta
sesama muslim agar tidak dimakan dengan batil.
c. Memotifasi orang
muslim untuk menginvestasi hartanya pada usaha-usaha yang bersih dari penipuan,
jauh dari apa saja yang dapat menimbulkan kesulitan dan kemarahan diantara kaum
muslimin.
d. Menutup seluruh
pintu bagi orang muslim.
e. Menjauhkan orang
muslim dari sesuatu yang menyebabkan kebinasaan karena pemakan riba adalah
orang yang zalim dan akibat kezaliman adalah kesusahan.
f. Membuka pintu-pintu
kebaikan di depan orang muslim agar ia mencari bekal untuk akhirat.
g. Rajin mensyukuri
nikmat Allah swt dengan cara memanfaatkan untuk kebaikan serta tidak
menyia-nyiakan nikmat tersebut.
h. Melakukan praktik jual beli dan utang piutang secara baik menurut Islam.
h. Melakukan praktik jual beli dan utang piutang secara baik menurut Islam.
B.
Bank
1.
Pengertian Bank
Menurut UU No.10
tahun 1992 tentang bank, bank adalah badan usaha yang menghimpun dana
masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam
rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Sedangkan menurut Dr. Fuad Moh.
Fachruddin, bank adalah suatu perusahaan yang memperdayagunakan hutang-piutang,
baik yang merupakan uangnya sendiri maupun orang lain. Fungsi bank adalah
sebagai berikut:
a.
Menyimpan dana masyarakat.
b.
Menyalurkan dana masyarakat ke publik.
c.
Memperdagangkan utang piutang.
d.
Mengatur dan menjaga stabilitas peredaran uang.
e.
Tempat menyimpan hata kekayaan (uang dan surat berharga) yang
terbaik dan aman.
f.
Menolong manusia dalam mengatasi kesulitan ekonomi keuangan.
Tujuan bank
diantaranya yaitu :
1) Menolong manusia dalam
banyak kesulitan, (peminjaman uang tunai atau kredit).
2) Meringankan
hubungan antara para pedagang dan penguhasa dengan memperlancar pemindahan uang
(money-transfer).
3) Bagi hartawan
adalah untuk menjaga keamanan dan memberi perlindungan dari penjahat dan
pencuri dengan menyimpan di tempat yang aman.
4) Untuk kepentingan
dan perkembangan kepentingan, baik nasional maupun internasional dalam seluruh
bidang kehidupan.
2.
Dasar Hukum Islam
Karena bank adalah
masalah baru dalam khazanah hukum Islam, maka para ulama masih memperdebatkan
keabsahan sebuah bank. Berikut ini beberapa pandangan mengenai hukum perbankan,
yaitu mengharamkan, tidak mengharamkan, dan syubhat (samar-samar).
a.
Kelompok yang
mengharamkan
Ulama yang mengharamkan riba di antaranya
adalah Abu Zahra (guru besar Fakultas Hukum, Kairo, Mesir), Abu A’la al-Maududi
(ulama Pakistan), dan Muhammad Abdullah al-A’rabi (Kairo). Mereka berpendapat
bahwa hukum bank adalah haram, sehingga kaum Muslimin dilarang mengadakan
hubungan dengan bank yang memakai sistem bunga, kecuali dalam keadaan darurat
atau terpaksa.
b.
Kelompok yang tidak
mengharamkan
Ulama yang ridak mengharamkan di antaranya
adalah Syekh Muhammad Syaltut dan A. Hassan. Mereka mengatakan bahwa kegiatan
bermuamalah kaum Muslimin dengan bank bukan merupakan perbuatan yang dilarang.
Bunga bank di Indonesia tidak bersifat ganda, sebagaimana digambarkan dalam
Q.S. Ali Imran ayat 130.
c.
Kelompok yang
menganggap syubhat (samar)
Bank merupakan perkara yang belum jelas
kedudukan hukumnya dalam Islam karena bank merupakan sebuah produk baru yang
tidak ada nasnya. Hal-hal yang belum ada nas dan masih diragukan ini yang
dimaksud dengan barang syubhat (samar).
Karena untuk kepentingan umum atau manfaat
sosial yang sangat berarti bagi umat, maka berdasarkan kaidah usul (maslahah
mursalah), bank masih tetap digunakan dan dibolehkan. Namun ketentuan ini hanya
untuk bank pemerintah (nonswasta), dan tidak berlaku untuk bank swasta dengan
alasan tingkat kerugian pada bank swasta sangat tinggi dibanding dengan bank
pemerintah.
3.
Jenis-jenis Bank
Berdasarkan jenis
atau sistem pengelolaannya, bank dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu:
a) Bank Konvensional
(dengan sistem bunga)
Bank dengan sistem bunga (Konvensional) ada
dua jenis, yaitu bank umum dan bank perkreditan rakyat.
b) Bank Syariah (Bank
dengan prinsip Bagi Hasil)
Karena belum ada kata sepakat dari para
ulama tetang hukum bank konvensional sementara umat Islam harus mengikuti
perkembangan ekonomi sehingga perlu jalan keluar, maka lahirlah bank syariah
dengan prinsip bagi hasil.
c) Operasional Bank
Syariah
Prinsip operasional dan produk syariah
dapat dilihat dari dua sisi, sisi pergerakan dana masyarakat dan sisi
penyaluran dana kepada masyarakat.
4.
Perbedaan Bank
Konvesional dan Bank Islam
Bank konvensional :
1. Memakai perangkat
bunga atau bagi hasil .
2. Profit Oriented.
3. Hubungan dengan
nasabah dalam bentuk kreditur-kreditur.
4. Creator for money
supply.
5. Melakukan investasi
yang halal dan haram.
6. Tidak terdapat
dewan sejenis Dewan Pengawas Syari’ah.
Bank islam :
1. Berdasarkan margin
keuntungan bagi hasil.
2. Profit dan falah
oriented.
3. Hubungan dengan
nasabah dalam bentuk kemitraan .
4. Users of real
founds.
5. Melakukan investasi
yang halal saja.
6. Pengerahan dan
penyaluran dana harus sesuai dengan pendapat Dewan Pengawas Syari’ah.
5. Hukum Bermuamalah Dengan Bank Konvensional Dan Hukum
Mendirikan Bank Islam
Dalam kehidupan
modern seperti sekarang ini, umat islam hampir tidak bisa menghindari dari
bermuamalah dengan bank konvensional yang memakai sistem bunga dalam segala
aspek kehidupannya termasuk kehidupan agamanya. Misalnya ibadah haji di
Indonesia.
Perbedaan pendapat tentang hukum bermuamalah dengan bank konvensional dan hukum bunga bank :
Perbedaan pendapat tentang hukum bermuamalah dengan bank konvensional dan hukum bunga bank :
1.
Abu Zahrah : bunga bank itu riba nasi’ah, dilarang oleh
islam. Karena itu islam tidak boleh bermuamalah dengan bank yang memakai sistem
bunga kecuali terpaksa.
2.
A.Hasan : Bunga bank bukan riba yang diharamkan karena tidak
bersifat ganda sebagaimana dalam surat Ali Imron: 130
3.
Majelis Tarjih Muhammaddiyah di sidoarjo Jawa Timur 1968:
Bunga bank termasuk subhat artinya belum jelas halal dan haramnya. Tapi jika
dalam keadaan terpaksa kita di bolehkan bermuamalah dengan bank konvensional.
Kaidah Fiqih:
“Hajah (keperluan
yang mendesak atau penting) itu menempati ditempat terpaksa, sedangkan keadaan
darurot itu menyebabkan boleh melakukan hal-hal yang dilarang.
C.
Asuransi
Sesuai dengan prinsip Islam yang
menghindari bentuk-bentuk bunga, dalam akad asuransi tidak ada riba di
dalamnya. Asuransi merupakan produk ekonomi Islam yang tergolong baru dalam
khazanah hukum Islam. Berbagai perbedaan pendapat muncul di kalangan umat Islam
terkait apakah akad asuransi ini dibenarkan dalam islam atau tidak
1. Pengertian Asuransi
Istilah asuransi
seringkali disamakan dengan istilah pertanggungan (kafalah). Pengertian
tersebut dapat dijumpai dalam ketentuan Pasal 1 UU No. 2 tahun 1992 tentang
usaha perasurasian.
Asuransi atau
pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, pihak penanggung
mengingatkan diri pada tertanggung dengan menerima premiasuransi, untuk memberikan
penggantian pada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan
keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum pada pihak ketiga yang
mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak
pasti atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal
atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Dari pengertian di
atas dapat dikemukakan bahwa asuransi pada dasarnya adalah pertanggungan dan
ikhtiar seseorang dalam rangka menanggulangi resiko atau akibat-akibat dari
terjadinya sebuah peristiwa yang tidak diinginkan (diharapkan) terjadi, namun
terjadi.
Menurut pasal KUPD,
asuransi adalah suatu perjanjian (akad) antara seseorang yang mempertanggungkan
sesuatu dengan seorang penanggung atau asurahor. Menurut perjanjian ini, si
penanggung menerima premi, yakni semacam pembayaran, baik sekaligus maupun
berkala dari orang yang mempertanggungkan itu, dan dia berjanji akan mengganti
kerugian yang mungkin diderita oleh si mempertanggungkan karena kejadian kelak
(kemudian hari) yang sebelumnya tidak dapat ditentukan dan diketahui oleh siapa
pun, seperti kebakaran, kehilangan, dan kerusakan.
2. Dasar Hukum Asuransi
Ketentuan mengenai
asuransi masuk dalam kategori objek ijtihad karena ketidakjelasan ketentuan
hukumnya. Hal ini terjadi karena memang ketentuan mengenai asuransi, baik di
dalam al-qur’an maupun hadits Nabi saw, termasuk para ulama tidak banyak yang
membicarakannya.
Untuk mengeluarkan sebuah produk hukum ijtihad, dapat menggunakan berbagai cara, antara lain menggunakan konsep maslahah mursalah atau dengan cara kias (metode analgis). Berdasarkan hasil ijtihad para ulama dengan menggunakan metode ini maka dasar hukum asuransi di lingkungan ulama muncul beragam atau berbeda-beda. Perbedaan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Untuk mengeluarkan sebuah produk hukum ijtihad, dapat menggunakan berbagai cara, antara lain menggunakan konsep maslahah mursalah atau dengan cara kias (metode analgis). Berdasarkan hasil ijtihad para ulama dengan menggunakan metode ini maka dasar hukum asuransi di lingkungan ulama muncul beragam atau berbeda-beda. Perbedaan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Pendapat pertama,
mengatakan bahwa asuransi dengan sagala bentuk perwujudannya dipandang haram
menurut ketentuan hukum. Artinya, melakukan akad asuransi tidak dibolehkan.
Ulama yang mengharamkan asuransi ini adalah Abdullah al-Qalqili dan Muhammad
Yusuf al-Qardawi
2. Pendapat kedua,
menyatakan bahwa asuransi dengan sagala bentuk perwujudannya dapat diterima
dalam syariat Islam. Ulama yang mendukung pendapat ini adalah Abdul Wahab
Khallaf dan Mustafa Ahmad Zarqa (Syiria), Muhammad Yusuf Musa (Kairo).
3. Pendapat ketiga,
mengatakan bahwa asuransi sosial diperbolehkan, sedangkan asuransi komersial
tidak diperdolehkan, kaena bertentangan dengan syariat Islam. Pendapat ini
didukung oleh ulama Abu Zahrah.
4. Pendapat keempat,
mengatakan bahwa asuransi dengan segala bentk perwujudannya dipandang syubhat.
Pendapat tersebut didukun oleh K.H. Ahmad Azhar Basyir (Indonesia).
Dari berbagai
keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa asuransi dibolehkan selama tidak
bertentangan dengan syariat Islam. Artinya, hendaknya berdasarkan asas gotong
royong (ta’awun) dan perjanjian-perjanjian yang dibuat benar-benar bersifat
tolong-menolong, bukan untuk mencari laba atau keuntungan dengan jalan yang
tidak benar.
Dalam buku Hukum Asuransi di Indonesia yang ditulis oleh Vide Wirjono Prodjadikoro, dijelaskan, menurut pasal 246 Wet Boek Van Koophandel (Kitab Undang-Undang Perniagaan), bahwa asuransi pada umumnya adalah suatu persetujuan dimana pihak yang menjamin berjanji kepada pihak yang dijamin untuk menerima sejumlah uang premi sebagai pengganti kerugian yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin karena akibat dari satu peristiwa yang belum jelas akan terjadi.
Dalam buku Hukum Asuransi di Indonesia yang ditulis oleh Vide Wirjono Prodjadikoro, dijelaskan, menurut pasal 246 Wet Boek Van Koophandel (Kitab Undang-Undang Perniagaan), bahwa asuransi pada umumnya adalah suatu persetujuan dimana pihak yang menjamin berjanji kepada pihak yang dijamin untuk menerima sejumlah uang premi sebagai pengganti kerugian yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin karena akibat dari satu peristiwa yang belum jelas akan terjadi.
3. Tujuan Asuransi
Tujuan asuransi
adalah menawarkan jaminan perlindungan untuk menghadapi kerugian akibat suatu
bencana yang terjadi pada yang diasuransikan, tanpa ada unsur penambahan
kekayaan seseorang.
Cara untuk menanggulangi bahaya yang mungkin terjadi biasanya dipraktikkan dengan bersama-sama menanggung kerugian itu untuk tujuan meringankan beban penderita yang diasuransikan. Hal ini berarti bahwa tujuan dari asuransi lebih dekat dengan arti iuran untuk perlindungan bersama.
Cara untuk menanggulangi bahaya yang mungkin terjadi biasanya dipraktikkan dengan bersama-sama menanggung kerugian itu untuk tujuan meringankan beban penderita yang diasuransikan. Hal ini berarti bahwa tujuan dari asuransi lebih dekat dengan arti iuran untuk perlindungan bersama.
4. Jenis Asuransi
Social insurance
lebih dianjurkan daripada bentuk-bentuk asuransi lain yang tidak jelas status
hukumnya. Di Indonesia terdapat dua asuransi, yaitu asuransi sosial dan
takaful. Asuransi sosial adalah asuransi pemerintah yang merupakan tuntunan UU
1945, khususnya pasal kesejahteraan sosial. Asuransi takaful merupakan lembaga
asuransi yang berbasis Islam. Pembahasan kedua modal asuransi (sosial dan
takaful) dirasa lebih cocok dan diterima oleh masyarakat Islam di
Indonesia.Asuransi sosial memiliki kekhususan tersendiri, diantaranya:
1)
Penyelenggara pertanggungan (asuransi) adalah pemerintah.
2)
Sifat hukum pertanggungan itu adalah wajib bagi seluruh
anggota masyarakat atau sebagai anggota tertentu masyarakat. Misalnya, bagi
para penumpang kendaraan, baik laut, darat maupun udara.
3)
Penentuan penggantian kerugian diatur oleh pemerintah dengan
peraturan khusus yang dibuat untuk itu.
4)
Tujuan asuransi memberikan suatu jaminan sosial (social
security), bukan untuk mencari keuntungan.
Secara operasional,
asuransi yang sesuai dengan syariah memiliki sistem yang mengandung hal-hal
sebagai berikut:
a)
Mempunyai akad takafuli (tolong-menolong) untuk memberikan
santunan atau perlindungan atas musibah yang akan datang.
b)
Dana yang terkumpul menjadi amanah pengelola dana. Dana
tersebut diinvestasikan sesuai dengan instrumen syariah seperti mudarabah,
wakalah, wad’ah, dan murabahah.
c)
Premi memiliki unsur tabaruq atau mortalita (harapan hidup).
d)
Pembebanan biaya operasional ditanggung pemegang polis,
terbatas pada kisaran 30% dari premi sehingga pembentukan pada nilai tunai
cepat terbentuk di tahun pertama yang memiliki nilai 70% dari premi.
e)
Dari rekening tabarru’ (dana kebijakan seluruh peserta) sejak
awal sudah diikhlaskan oleh peserta untuk keperluan tolong-menolong bila
terjadi musibah.
f)
Mekanisme pertanggungan pada asuransi syariah adalah sharing
of risk di mana apabila terjadi musibah, maka semua peserta ikut saling
menanggung dan membantu.
g)
Keuntungan (profit) dibagi antara perusahaan dengan peserta
sesuai prinsip bagi hasil (mudarabah), atau dalam akad tabarru’ dapat berbentuk
dengan memberikan hadiah kepada peserta dan upah (fee) kepada pengelola.
h)
Mempunyai misi aqidah, sosial serta mengangkat perekonomian
umat Islam atau misi istiqadi.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Mayoritas ulama (jumhur) sepakat bahwa
praktik bunga yang ada di perbankan konvensional adalah sama dengan riba dan
karena itu haram. Walaupun ada sejumlah layanan perbankan yang tidak mengandung
unsur bunga dan karena itu halal. Namun demikian, ada sejumlah ulama yang
menganggap bahwa bunga bank bukanlah riba dan karena itu halal hukumnya.
Bagi seorang muslim yang taat dan berada dalam kondisi yang ideal dan berada dalam posisi yang dapat memilih, tentunya akan lebih baik kalau berusaha menjauhi praktik bank konvensional yang diharamkan. Namun, apabila terpaksa, Anda dapat memanfaatkan segala layanan bank konvensional karena ada sebagian ulama yang menghalalkannya.
Bagi seorang muslim yang taat dan berada dalam kondisi yang ideal dan berada dalam posisi yang dapat memilih, tentunya akan lebih baik kalau berusaha menjauhi praktik bank konvensional yang diharamkan. Namun, apabila terpaksa, Anda dapat memanfaatkan segala layanan bank konvensional karena ada sebagian ulama yang menghalalkannya.
B.
Saran
Dalam menjalankan kegiatan pondok ramadhan
sangatlah banyak hal yang diperoleh oleh siswa. Dan berikut ini beberapa saran
sebagai langkah perbaikan :
1.
Persiapan kualitas kegiatan pondok Ramadhan supaya lebih di
tingkatkan.
2.
Untuk suksesnya pelaksanaan/kegiatan pondok ramadhan, kami
menyarankan kepada teman/adik kelas supaya bersungguh-sungguh dalam menjalankan
kegiatan tersebut dan dapat menerapkan ilmu yang di terima di sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
• Zuhdi, Prof. Drs
H. Masjfuk. MASAIL FIQHIYAH, PT Toko Gunung Agung, Jakarta: 1997, Hal.102.
• Rokhman, M.Ag Roli Abdul. Fiqih 2 MA. Jawa Timur: PT Wahana Dinamika. 1999
• Sjahdeini, Sutan Remy. Perbankan Islam. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.1999
• Mujtaba, Saifuddin. AL – MASAILUL FIQHIYAH. Rausyan fikr. Jombang: 2007, Hal.345
• http://www.hadielislam.com/arabic/index.php?pg=fatawa%2Ffatwa&i Rausyd=470)
• Rokhman, M.Ag Roli Abdul. Fiqih 2 MA. Jawa Timur: PT Wahana Dinamika. 1999
• Sjahdeini, Sutan Remy. Perbankan Islam. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.1999
• Mujtaba, Saifuddin. AL – MASAILUL FIQHIYAH. Rausyan fikr. Jombang: 2007, Hal.345
• http://www.hadielislam.com/arabic/index.php?pg=fatawa%2Ffatwa&i Rausyd=470)
KATA PENGANTAR
Sembah sujud penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena
anugerah dan rahmat-Nya jualah sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Dalam
penyusunan makalah ini, penulis telah berusaha semaksimal mungkin, yang mana
telah memakan waktu dan pengorbanan yang tak ternilai dari semua pihak yang
memberikan bantuannya, yang secara langsung merupakan suatu dorongan yang
positif bagi penulis ketika menghadapi hambatan-hambatan dalam menghimpun bahan
materi untuk menyusun makalah ini.
Namun penulis menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh
dari kesempurnaan, baik dari segi penyajian materinya maupun dari segi
bahasanya. Karena itu saran dan kritik yang bersifat konstruktif senantiasa
penulis harapkan demi untuk melengkapi dan menyempurnakan makalah ini.
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................
DAFTAR ISI......................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................
A.
Latar Belakang.......................................................................................................
B.
Rumusan Masalah..................................................................................................
C.
Tujuan ...................................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................
A.
RIBA.......................................................................................................................
B.
BANK.....................................................................................................................
C.
ASURANSI............................................................................................................
BAB III PENUTUP............................................................................................................
A.
Kesimpulan..............................................................................................................
B.
Saran........................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................
MAKALAH
OLEH
:
NAMA : HIPZAN
KELAS : X – IPA
MA.
YADINU MASBAGIK
TP.
2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar