BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perdarahan yang mengancam nyawa selama kehamilan dan dekat
cukup bulan meliputi perdarahan yang terjadi pada minggu awal kehamilan
(abortus, mola hidatidosa, kista vasikuler, kehamilan ekstrauteri/ ektopik) dan
perdarahan pada minggu akhir kehamilan dan mendekati cukup bulan (plasenta
previa, solusio plasenta, ruptur uteri, perdarahan persalinan per vagina
setelah seksio sesarea, retensio plasentae/ plasenta inkomplet), perdarahan
pasca persalinan, hematoma, dan koagulopati obstetri.
Setiap bayi baru lahir akan
mengalami bahaya jiwa saat proses kelahirannya. Ancaman jiwa berupa kamatian
tidak dapat diduga secara pasti walaupun denagn bantuan alat-alat medis modern sekalipun,sering kali
memberikan gambaran berbeda tergadap kondisi bayi saat lahir.
Oleh karena itu kemauan dan
keterampilan tenaga medis yang menangani kelahiran bayi mutlak sangat
dibutuhkan, tetapi tadak semua tenaga medis memiliki kemampuan dan
keterampilan standart, dalam melakukan resusitasi pada bayi baru lahir yang
dapat dihandalkan, walaupun mereka itu memiliki latar belakang pendidikan
sebagai profesional ahli.
B.
Rumusan Masalah
a.
Apa
Definisi
Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal ?
b.
Apa
Prinsip Dasar
Penanganan Kegawatdaruratan
?
c.
Apa
Prinsip Umum
Penanganan Kasus Kegawatdaruratan ?
d.
Apa
Kunci
Keberhasilan Penanganan Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal ?
e.
Bagaimana
Penanganan Awal
dan Penanganan Lanjutan Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal ( Penanganan
Plasenta Previa dan Penanganan Asfiksia Neonatorum) ?
f.
Apa
Yang Dimaksud Asfiksia Neonatorum ?
C.
Tujuan
Menguraikan
masalah tentang kegawatdaruratan
maternal dan neonatal
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal
Kegawatdaruratan
adalah kejadian yang tidak diduga atau terjadi secara tiba-tiba, seringkali
merupakan kejadian yang berrbahaya (Dorlan,
2011).
Kegawatdaruratan
dapat didefinisikan sebagai situasi serius dan kadang kala berbahaya yang
terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga dan membutuhkan tindakan segera guna
menyelamtkan jiwa/ nyawa (Campbell S, Lee C, 2000).
Kegawatdaruratan
obstetri adalah kondisi kesehatan yang mengancam jiwa yang terjadi dalam
kehamilan atau selama dan sesudah persalinan dan kelahiran. Terdapat sekian
banyak penyakit dan gangguan dalam kehamilan yang mengancam keselamatan ibu dan
bayinya (Chamberlain, Geoffrey, & Phillip Steer, 1999).
Kasus gawat
darurat obstetri adalah kasus obstetri yang apabila tidak segera ditangani akan
berakibat kematian ibu dan janinnya. Kasus ini menjadi penyebab utama kematian
ibu janin dan bayi baru lahir. (Saifuddin, 2002)
Kegawatdaruratan
neonatal adalah situasi yang membutuhkan evaluasi dan manajemen yang tepat pada bayi baru lahir
yang sakit kritis ( ≤ usia 28 hari) membutuhkan pengetahuan yang dalam
mengenali perubahan psikologis dan kondisi patologis yang mengancam jiwa yang
bisa saja timbul sewaktu-waktu (Sharieff, Brousseau, 2006).
Penanganan
kegawatdaruratan obstetrik ada tidak hanya membutuhkan sebuat tim medis yang
menangani kegawatdaruratan tetapi lebih pada membutuhkan petugas kesehatan yang
terlatih untuk setiap kasus-kasus kegawatdaruratan.
1. Prinsip Dasar
Dalam menangani
kasus kegawatdaruratan, penentuan permasalahan utama (diagnosa) dan tindakan
pertolongannya harus dilakukan dengan cepat, tepat, dan tenang tidak panik,
walaupun suasana keluarga pasien ataupun pengantarnya mungkin dalam kepanikan.
Semuanya dilakukan dengan cepat, cermat, dan terarah. Walaupun prosedur
pemeriksaan dan pertolongan dilakukan dengan cepat, prinsip komunikasi dan
hubungan antara dokter-pasien dalam menerima dan menangani pasien harus tetap
diperhatikan.
2. Menghormati hak pasien
Setiap pasien
harus diperlakukan dengan rasa hormat, tanpa memandang status sosial dan
ekonominya. Dalam hal ini petugas harus memahami dan peka bahwa dalam situasi
dan kondisi gawatdarurat perasaan cemas, ketakutan, dan keprihatinan adalah
wajar bagi setiap manusia dan kelurga yang mengalaminya.
3. Gentleness
Dalam melakukan
pemeriksaan ataupun memberikan pengobatan setiap langkah harus dilakukan dengan
penuh kelembutan, termasuk menjelaskan kepada pasien bahwa rasa sakit atau
kurang enak tidak dapat dihindari sewaktu melakukan pemeriksaan atau memerikan
pengobatan, tetapo prosedur akan dilakukan selembut mungkin sehingga perasaan
kurang enak itu diupayakan sesedikit mungkin.
4. Komunikatif
Petugas
kesehatan harus berkomunikasi dengan pasien dalam bahasa dan kalimat yang
tepat, mudah dipahami, dan memperhatikan nilai norma kultur setempat. Dalam
melakukan pemeriksaan, petugas kesehatan harus menjelaskan kepada pasien apa
yang akan diperikssssa dan apa yang diharapkan. Apabila hasil pemeriksaan
normal atau kondisi pasien sudah stabil,upaya untuk memastikan hal itu harus
dilakukan. Menjelaskan kondisi yang sebenarnya kepada pasien sangatlah penting.
5. Hak Pasien
Hak-hak pasien
harus dihormati seperti penjelasan informed consent, hak pasien untuk menolak pengobatan yang akan
diberikan dan kerahasiaan status medik pasien.
6. Dukungan Keluarga (Family Support)
Dukungan
keluarga bagi pasien sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, petugas kesehatan
harus mengupayakan hal itu antara lain dengan senantiasa memberikan penjelasan
kepada keluarga pasien tentang kondisi pasien, peka akan masalah kelurga yang
berkaitan dengan keterbatasan keuangan, keterbatasan transportasi, dan
sebagainya.
Dalam kondisi
tertentu, prinsip-prinsip tersebut dapat dinomorduakan, misalnya apa bila
pasien dalam keadaan syok, dan petugas kesehatan kebetulan hanya sendirian,
maka tidak mungkin untuk meminta informed consent kepada keluarga pasien.
Prosedur untuk menyelamatkan jiwa pasien harus dilakukan walaupun keluarga
pasien belum diberi informasi.
7. Penilaian Awal
Dalam
menentukan kondisi kasus obstetri yang dihadapi apakah dalam keadaa
gawatdarurat atau tidak, secara prinsip harus dilakukan pemeriksaan secara
sistematis meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik umum, dan pemeriksaan
obstetrik. Dalam praktik, oleh karena pemeriksaan sistematis membutuhkan waktu
yang agak lama, padahal penilaian harus dilakukan secara cepat, maka dilakukan
penilaian awal.
Penilaian awal
adalah langkah untuk menentukan dengan cepat kasus obstetri yang dicurigai
dalam keadaan kegawatdarurat dan membutuhkan pertolongan segera dengan
mengidentifikasi penyulit yang dihadapi. Dalam penilaian awal ini, anamnesis
lengkap belum dilakukan. Anamnesa awal dilakukan bersama-sama periksa pandang,
periksa raba, dan penilaian tanda vital dan hanya untuk mendapatkan informasi
yang sangat penting berkaitan dengan kasus. Misalnya apakah kasus mengalami
perdarahan, demam, tidak sadar, kejang, sudah mengedan, atau bersalin berapa
lama, dan sebagainya. Fokus utama penilaian adalah apakah pasieng mengalami
syok hipofolemik, syok septik, syok jenis lain (syok kardiogenik, syok
neurologik, dan sebagainya), koma, kejang-kejang, atau koma disertai
kejang-kejang, dan hal itu terjadi dalam kehamilan, persalinan, atau pasca persalinan.
C.
Prinsip Umum
Penanganan Kasus Kegawatdaruratan
1. Pastikan Jalan Napas Bebas
Harus diyakini
bahwa jalan napas tidak tersumbat. Jangan memberikan cairan atau makanan ke
dalam mulut karena pasien sewaktu-waktu dapat muntah dan cairan muntahan dapat
terisap masuk ke dalam paru-paru. Putarlah kepala pasien dan kalau perlu putar
juga badannya ke samping dengan demikian bila ia muntah, tidak sampai terjadi
aspirasi. Jagalah agar kondisi badannya tetap hangat karena kondisi hipotermia
berbahaya dan dapat memperberat syok. Naikkanlah kaki pasien untuk membantu
aliran darah balik ke jantung. Jika posisi berbaring menyebabkan pasien merasa
sesak napas, kemungkinan hla ini dikarenakan gagal jantung dan edema paru-paru.
Pada kasus demikian, tungkai diturunkan dan naikkanlah posisi kepala untuk
mengurangi cairan dalam paru-paru.
2. Pemberian Oksigen
Oksigen
diberikan dengan kecepatan 6-8 liter / menit. Intubasi maupun ventilasi tekanan
positif hanya dilakukan kalau ada indikasi yang jelas.
3. Pemberian Cairan Intravena
Cairan intra
vena diberikan pada tahap awal untuk persiapan mengantisipasi kalau kemudian
penambahan cairan dibutuhkan. Pemberian cairan infus intravena selanjutnya baik jenis cairan, banyaknya cairan yang
diberikan, dan kecepatan pemberian cairan harus sesuai dengan diagnosis kasus.
Misalnya pemberian cairan untuk mengganti cairan tubuh yang hilang pada syok hipovolemik seperti pada
perdarahan berbeda dengan pemberian cairan pada syok septik. Pada umumnya
dipilih cairan isotonik, misalnya NaCl 0.9 % atau Ringer Laktat. Jarum infus
yang digunakan sebaiknya nomor 16-18 agar cairan dapat dimasukkan secara cepat.
Pengukuran
banyaknya cairan infus yang diberikan sangatlah penting. Berhati-hatilah agar
tidak berlebihan memberikan cairan intravena terlebih lagi pada syok septik.
Setiap tanda pembengkakan, napas pendek, dan pipi bengkak, kemungkinan adalah
tanda kelebihan pemberian cairan. Apabila hal ini terjadi, pemberian cairan
dihentikan. Diuretika mungkin harus diberikan bila terjadi edema paru-paru.
4. Pemberian Tranfusi Darah
Pada kasus
perdarahan yang banyak, terlebih lagi apabila disertai syok, transfusi darah
sangat diperlukan untuk menyelamatkan jiwa penderita. Walaupun demikian,
transfusi darah bukan tanpa risiko dan bahkan dapat berakibat kompliksai yang
berbahaya dan fatal. Oleh karena itu, keputusan untuk memberikan transfusi
darah harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Risiko yang serius berkaitan
dengan transfusi darah mencakup penyebaran mikroorganisme infeksius ( misalnya
human immunodeficiency virus atau HIV dan virus hepatitis), masalah yang
berkaitan dengan imunologik ( misalnya hemolisis intravaskular), dan kelebihan
cairan dalam transfusi darah.
5. Pasang Kateter Kandung Kemih
Kateter kandung
kemih dipasang untuk mengukur banyaknya urin yang keluar guna menulai fungsi
ginjal dan keseimbangan pemasukan danpengeluaran cairan tubuh. Lebih baik
dipakai kateter foley. Jika kateterisasi tidak mungkin dilakukan, urin
ditampung dan dicatat kemungkinan terdapat peningkatan konsesntrasi urin ( urin
berwarna gelap) atau produksi urin berkurang sampai tidak ada urin sama sekali.
Jika produksi urin mula-mula rendah kemudian semakin bertambah, hal ini
menunjukan bahwa kondisi pasien membaik. Diharapkan produksi urin paling
sedikit 100 ml/4 jam atau 30 mL/ jam.
6. Pemberian Antibiotika
Antibiotika
harus diberikan apabila terdapat infeksi, misalnya pada kasus sepsi, syok
septik, cidera intraabdominal, dan perforasi uterus.
Pada kasus
syok, pemberian antibiotika intravena lebih diutamakan sebab lebih cepat
menyebarkan obat ke jaringan yang terkena infeksi. Apabila pemberian intravena
tidak memungkinkan, obat dapat diberikan intramuskular. Pemberian antibiotika
per oral diberikan jika pemberian intra vena dan intramuskular tidak
memungkinkan, yaitu jika pasien dalam keadaan syok, pada infeksi ringan, atau
untuk mencegah infeksi yang belum timbul, tetapi diantisipasi dapat terjadi
sebagai komplikasi.
Profilaksis
antibiotika adalah pemberian antibiotika untuk pencegahan infeksi pada kasus
tanpa tanda-tanda dan gejala infeksi. Antibiotika diberikan dalam dosis
tugngal, paling banyak ialah 3 kali dosis. Sebaiknya profilaksis antibiotika
diberikan setelah tali pusat diklem untuk menghindari efeknya pada bayi.
Profilaksis antibiotika yang diberikan dalam dosis terapeutik selain menyalahi
prinsip juga tidak perlu dan suatu
pemborosan bagi si penderita. Risiko penggunaan antibiotika berlebihan ialah
retensi kuma, efek samping, toksisitas, reaksi alergi, dan biaya yang tidak perlu dikeluarkan.
7. Obat Pengurang Rasa Nyeri
Pada beberapa
kasus kegawatdaruratan obstetri, penderita dapat mengalami rasa nyeri yang
membutuhkan pengobatan segera. Pemberian obat pengurang rasa nyeri jangan
sampai menyembunyikan gejala yang sangat penting untuk menentukan diagnosis.
Hindarilah pemberian antibiotika pada kasus yang dirujuk tanpa didampingi
petugas kesehatan, terlebih lagi petugas tanpa kemampuan untuk mengatasi
depresi pernapasan.
8. Penanganan Masalah Utama
Penyebab utama
kasus kegawatdaruratan kasus harus ditentukan diagnosisnya dan ditangani sampai
tuntas secepatnya setelah kondisi pasien memungkinkan untuk segera ditindak.
Kalau tidak, kondisi kegawatdaruratan dapat timbul lagi dan bahkan mungkin
dalam kondisi yang lebih buruk.
9. Rujukan
Apabila
fasilitas medik di tempat kasus diterima tidak memadai untuk menyelesaikan
kasus dengan tindakan klinik yang adekuat, maka kasus harus dirujuk ke
fasilitas kesehatan lain yang lebih lengkap. Sebaiknya sebelum pasien dirujuk,
fasilitas kesehatan yang akan menerima rujukan dihubungi dan diberitahu
terlebih dahulu sehingga persiapan penanganan ataupun perawatan inap telah
dilakukan dan diyakini rujukan kasusa tidak akan ditolak.
D.
Kunci Keberhasilan
Penanganan Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal
Penanganan
kegawatdaruratan maternal dan neonatal meliputi intervensi yang spesifik untuk
menangani kasus “kegawatan” atau komplikasi selama kehamilan, persalinan, dan
nifas, serta kegawatan pada bayi baru lahir di bawah 30 hari. Intervensi yang
dilakukan antara lain pmeberian antibiotik intravena, penanganan komplikasi
aborsi, penanganan perdarahan postpartum, pengananan asfiksia neonatorum,
penanganan ikterus neonatorum, dan lain sebagainya.
Kasus
kegawatdaruratan maternal dan neonatal bukanlah merupakan tanggung jawab
petugas kesehatan untuk mengananinya. Namun, dibutuhkan peran serta berbagai
pihak dalam mewujudkan kondisi yang mendukung demi tercapainya keselamatan ibu
dan bayi yang mengalami kegawatan melalui sistem pertolongan yang sinergi,
bekerja efektif, efisien, dan kontinu.
Pemberi bantuan
dana, pembuat kebijakan, dan petugas kesehatan harus menyadari bahwa tujuan
utama pengananan kegawatdaruratan maternal dan neonatal adalah untuk menyelamatkan
nyawa ibu dan bayinya, juga untuk menyelamatkan jiwa bayi yang baru lahir atau
dengan kata lain untuk mengurangi angka kematian ibu dan angka kematian
neonatal.
Penyediaan
pelanyanan penanganan kegawatdaruratan yang berkualitas bukanlah penyelesaian
masalah. Bukan pula dengan tersedianya rumah sakit yang menyediakan layanan
pembedahan di kamar operasi, tetapi ada beberapa poin yang menentukan
berhasilnya pertolongan kasus kegawatdaruratan di antaranya yaitu.
a.
Pendidikan dan mobilisasi komunitas
Tujuannya agar
masyarakat mengetahui kapan harus mencari pertolongan dan kapan menghubungi
petugas kesehatan jika tampak tanda bahaya atau kegawatan
b.
Pinjaman dana komunitas
Kurangnya
biaya merupakan masalah atau hambatan
daam mendapatkan pertolongan ataupun penanganan di fasilitas kesehatan.
Mendirikan sebuah pinjaman dana komunitas memberikan dampak yang baik di mana
masyarakat termotivasi dalam mendonorkan dana demi tercapainya penggunaan
fasilitas yang dibutukan oleh ibu ataupun bayi yang mengalami kegawatan.
c.
Trained and skilled staff ( petugas
kesehatan yang terlatih dan terampil)
d.
Alat transportas
Ketersediaan
alat transportasi merupakan elemen yang krusial dari kuatnya sistem rujukan.
Alat transportasi tidak mesti harus ambulans. Sarana transportasiumum seperti
taxi ataupun mobil pribadi dapat digunakan dalam situasi gawatdarurat.
e.
Maternity Waiting Homes ( Rumah Singgah
Ibu
Maternity
waiting homes dirancang umumnya untuk mengurangi komplikasi intra partum dan
postpartum. Penggunaan MWH ini telah lama direkomendasikan oleh WHO sebagai
strategi untuk mengurangi angka kesakitan dan kematian ibu.
f.
Ketersediaan obat, bahan, alat, dan
perlengkapan, kamar operasi, dan lain sebagainya di fasilitas kesehatan.
g.
Lingkungan kerja yang kondusif serta
kerjasama antara petugas yang baik
h.
Meningakatkan kualitas sistem
penanganan kegawatdaruratan maternal dan neonatal pada setiap fasilitas
kesehatan/ pusat pelayanan kesehatan
i.
Komunikasi dan hubungan antara penolong
kasus kegawatan pada level komunitas dengan petugas di fasilitas yang lebih
baik (tempat rujukan)
E.
Penanganan Awal
dan Penanganan Lanjutan Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal ( Penanganan
Plasenta Previa dan Penanganan Asfiksia Neonatorum)
Terdapat banyak
kasus kegawatdaruratan atau komplikasi yang dapat dialami oleh ibu selama masa
kehamilan, persalinan, maupun postpartum dan juga pada 0 – 30 hari pada bayi
baru lahir di antaranya (a) perdarahan obstetri, (b) eklampsia, (c) emboli paru, (d) emboli air
ketuban, (e) prolapsus talipusat,(f) retensio plasenta, (g) distosia bahu, (h)
inversio uteri, (i) ruptura uteri, (j) asfiksia neonatorum,(k) ikterus
neonatorum, (l) hipotermi dan hipertermi pada bayi baru lahir, (m) kejang pada
bayi baru lahir, dan lain sebagainya. Berikut akan dijelaskan menganai satu
dari sekian kasus kegawatan maternal dan satu kasus kegawatan neonatal.
1. Plasenta Previa
·
Pengertian dan Klasifikasi Plasenta Previa
Plasenta previa adalah keadaaan dimana
plasenta berimplantasi pada tempat abnormal, yaitu pada segmen bawah rahim
sehingga menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir (Ostium Uteri
Internal) (Rustam mochtar, 1998).
Plasenta previa ialah plasenta yang
letaknya abnormal yaitu pada segmen bawah rahim sehingga dapat menutupi
sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir. Pada keadaan normal plasenta
terletak di bagian atas uterus (Hanifa Winkjosastro, 2005)
Klasifikasi plasenta previa berdasarkan terabanya jaringan
plasenta melalui pembukaan jalan lahir pada waktu tertentu :
1. Plasenta previa totalis : bila
seluruh pembukaan jalan lahir tertutup oleh plasenta.
2. Plasenta previa lateralis : bila
hanya sebagian pembukaan jalan lahir tertutup oleh plasenta.
3. Plasenta previa marginalis : bila
pinggir plasenta berada tepat pada pinggir pembukaan jalan lahir.
4. Plasenta letak rendah.
Tepi plasenta berada 3-4 cm diatas pinggir pembukaan pada
pemeriksaan dalam tidak teraba (Hanifa Winkjosastro, 2005).
·
Ciri – Ciri
Plasenta Previa
Ciri-
ciri plasenta previa yaitu :
1.
Perdarahan
tanpa nyeri
2.
Perdarahan
berulang
3.
Warna
perdarahan merah segar
4.
Adanya
anemia dan renjatan yang sesuai dengan keluarnya darah
5.
Timbulnya
perlahan-lahan
6.
Waktu
terjadinya saat hamil
7.
His
biasanya tidak ada
8.
Rasa
tidak tegang (biasa) saat palpasi
9.
Denyut
jantung janin ada
10.
Teraba
jaringan plasenta pada periksa dalam vagina
11.
Penurunan
kepala tidak masuk pintu atas panggul
12.
Presentasi
mungkin abnormal.
·
Etiologi
Penyebab plasenta previa secara pasti sulit ditentukan,
tetapi ada beberapafaktor yang meningkatkan risiko terjadinya plasenta previa,
misalnya bekasoperasi rahim (bekas sesar atau operasi mioma), sering mengalami
infeksirahim (radang panggul), kehamilan ganda, usia ibu di atas 35 tahun,
paritas, pernah plasenta previa, atau kelainan bawaan rahim.
·
Diagnosis Plasenta Previa
a. Anamnesis : adanya perdarahan per
vaginam pada kehamilan lebih 20 minggu dan berlangsung tanpa sebab.
b. Pemeriksaan luar : sering ditemukan
kelainan letak. Bila letak kepala maka kepala belum masuk pintu atas panggul.
c. Inspekulo : adanya darah dari ostium
uteri eksternum.
d. USG untuk menentukan letak plasenta.
e. Penentuan letak plasenta secara
langsung dengan perabaan langsung melalui kanalis servikalis tetapi pemeriksaan
ini sangat berbahaya karena dapat menyebabkan perdarahan yang banyak. Oleh
karena itu cara ini hanya dilakukan diatas meja operasi.
·
Penatalaksanaan Plasenta Previa
Ibu yang menderita anemia sebelumnya
akan sangat rentan terhadap perdarahan, walaupun perdarahan tidak terlalu
banyak. Darah sebagai obat utama untuk menagatasi perdarahan belum selalu ada
atau tersedia di rumah sakit.
Prinsip dasar penanganan. Setiap ibu
dengan perdarahan antepartum harus segera dikirim ke rumah sakit yang memiliki
fasilitas perdarahan yang pertama kali jarang sekali. Apabila dalam penilaian
yang tenang dan jujur ternyata perdarahan telah berlangsung tidak membahayakan
ibu,janin dan kehamilannya belum cukup 36 minggu atau taksiran berat janin
kurang dari 2500 gram dan persalinan belum mulai dapat dibenarkan menunda
persalinan sampai janin dapat hidup diluar kandungan.Tetapi bila terjadi
perdarahan yang membahayakan ibu dan janin atau kehamilannya telah mencapai 36
minggu dan taksiran berat janin mencapai 2500 gram atau persalinan telah mulai,
maka penanganan pasif harus di tinggalkan dan di tempuh penanganan aktif.
Memilih cara persalinanan yang
terbaik adalah tergantung dari derajat plasenta previa, paritas dan banyaknya
perdarahan. Plasenta previa totalis merupakan indikasi mutlak untuk seksio
sesaria tanpa menghiraukan faktor – faktor lannya. Perdarahan banyak dan ber
ulang – ulang biasnya disebabkan oleh plasenta yang letaknya lebih tinggi
daerjatnya daripada yangditemukan pada pemeriksaan dalam atau vaskularisasi
yang hebat pada serviks dan segmen bawah uterus.
Pada kasus yang terbengkalai, dengan
anemia berat karena perdarahan atau infeksi intra uterin, baik seksio sesaria
maupun persalinan pervaginam sama – sama tidak mengamankan ibu dan janinnya. Akan
tetapi dengan bantuan transfusi darah dan antibiotika secukupnya, seksio
cesaria masih lebih aman daripada persalinan pervaginam untuk semua kasus
plasenta previa totalis dari kebanyakan plasenta previa parsialis (Hanifa
Winkjosastro, 2005).
Factor-faktor yang menentukan sikap/tindakan persalinan mana yang akan dipilih.
a.
Jenis plasenta
previa
b.
Banyaknya
perdarahan
c.
keadaan umum
ibu
d.
Keadaan janin
e.
Pembukaan jalan
lahir
f.
Paritas
g.
Fasilitas rumah
sakit
Dilakukan perawatan konservatif bila
a.
Kehamilan
kurang 37 minggu.
b.
Perdarahan
tidak ada atau tidak banyak (Hb masih dalam batas normal).
c.
Tempat
tinggal pasien dekat dengan rumah sakit (dapat menempuh
perjalanan selama 15 menit).
perjalanan selama 15 menit).
Penanganan aktif
bila :
a.
Perdarahan
banyak tanpa memandang usia kehamilan.
b.
Umur
kehamilan 37 minggu atau lebih.
c.
Anak
mati
Perawatan konservatif berupa :
1)
Istirahat
2)
Memberikan
hematinik dan spasmolitik unntuk mengatasi anemia
3)
Memberikan
antibiotik bila ada indikasi.
4)
Pemeriksaan
USG, Hb, dan hematokrit.
Bila selama 3 hari tidak terjadi perdarahan setelah
melakukan perawatan konservatif maka lakukan mobilisasi bertahap. Pasien
dipulangkan bila tetap tidak ada perdarahan. Bila timbul perdarahan segera bawa
ke rumah sakit dan tidak boleh melakukan senggama.
Penanganan aktif berupa :
a.
Persalinan
per vaginam.
b.
Persalinan
per abdominal.
Penderita disiapkan untuk pemeriksaan dalam di atas meja
operasi (double set up) yakni dalam keadaan siap operasi. Bila pada pemeriksaan
dalam didapatkan :
a)
Plasenta
previa marginalis
b)
Plasenta
previa letak rendah
c)
Plasenta
lateralis atau marginalis dimana janin mati dan serviks sudah matang, kepala
sudah masuk pintu atas panggul dan tidak ada perdarahan atau hanya sedikit
perdarahan maka lakukan amniotomi yang diikuti dengan drips oksitosin pada
partus per vaginam bila gagal drips (sesuai dengan protap terminasi kehamilan).
Bila terjadi perdarahan banyak, lakukan seksio sesarea.
Indikasi melakukan seksio sesarea yaitu :
a.
Plasenta
previa totalis
b.
Perdarahan
banyak tanpa henti.
c.
Presentase
abnormal.
d.
Panggul
sempit.
e.
Keadaan
serviks tidak menguntungkan (belum matang).
f.
Gawat
janin
F.
Asfiksia Neonatorum
1. Pengertian
Asfiksia Neonatorum
Asfiksia Neonatorum adalah keadaan
dimana bayi tidak dapat segera bernafas secara spontan dan teratur setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh
hipoksia janin dalam uterus dan hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor
yang timbul dalam kehamilan, persalinan atau segera lahir (Prawiro Hardjo Sarwono, 1997).
Asfiksia Neonatotum adalah keadaan
dimana bayi baru lahir yang tidak dapat bernafas secara spontan dan teratur
segera setelah lahir. Keadaan ini biasanya disertai dengan keadaan dimana
hipoksia dan hiperapneu serta sering berakhir dengan asidosis (Santoso NI, 1992)
2. Patofisiologi
Asfiksia dalah
keadaan bayi baru lahir tidak bernapas secara spontan dan teratur, sering kali seorang bayi yang
mengalami gawat janin sebelum persalinan akan mengalami asfiksia sesudah
persalinan. Masalah ini mungkin berkaitan dengan kondisi ibu, masalah pada tali
pusat dan plasenta atau masalah pada bayi selama atau sesudah persalinan.
3. Perubahan Yang Terjadi Pada Asfiksia
Pernapasan
adalah tanda vital pertama yang berhenti ketika BBL kekurangan oksigen. Pada
periode awal bayi akan mengalami napas cepat yang disebut dengan gasping primer. Setelah periode awal ini
akan diikuti dengan keadaan bayi tidak bernapas yang diseebut apneu primer. Pada saat ini frekuensi
jantug mulai menurun, namun tekanan darah masih tetap bertahan.
Bila keadaan ini berlangsung lama dan
tidak dilakukan pertolongan pada BBL, maka bayi akan melakukan usaha
napas megap-megap yang disebut gasping
sekunder dan kemudian masuk dalam periode apneu sekunder. Pada saat ini
frekuensi jantung semakin menurun dan tekanan darah semakin menurun dan bisa
menyebabkan kematian bila bayi tidak segera ditolong. Oleh karena itu, setiap
menjumpai kasus dengan apneu, harus dianggap sebagai apneu sekunder dan segera
dilakukan resusitasi.
4. Penyebab Asfiksia
Asfiksia pada
bayi baru lahir disebabkan oleh faktor ibu, faktor bayi, dan faktor tali pusat
atau plasenta.
a)
Faktor ibu
·
Preeklampsia dan eklampsia
·
Perdarahan antepartum abnormal (
plasenta previa dan solusio plasenta)
·
Partus lama atau partus macet
·
Demam sebelum dan selama persalinan
·
Infeksi berat ( malaria, sifilis, TBC,
dan HIV)
·
Kehamilan lebih bulan
b)
Faktor bayi
·
Bayi kurang bulan
·
Air ketuban bercampur mekonium
·
Kelainan kongenital yang memberi dampak
pada pernapasan bayi.
c)
Faktor plasenta dan tali pusat
·
Infark plasenta
·
Hematoma plasenta
·
Lilitan tali pusat
·
Tali pusat pendek
·
Simpul tali pusat
·
Prolaps tali pusat
5. Diagnostik
a)
Anamnesa
a. Ganggaun atau
kesulitan waktu lahir
b. Lahir tidak
menangsi atau tidak bernapas
c. Air ketuban
bercampur mekonium
b)
Pemeriksaan fisik
a. Bayi tidak
bernapas atau napas megap-megap
b. Denyut jantung
kurang dari 100 kali permenit
c. Kulit sianosis,
pucat
d. Tonus otot
menurun
e. Untuk diagnosis
asfiksia tidak perlu menilai skor Apgar
6. Langkah Promotif/ Preventif
Sebetulnya
asfiksia pada bayi baru lahir dapat dicegah, maka sebaiknya dilakukan tindakan
pencegahan sebagai berikut.
a.
Pemeriksaan selama kehamilan secara
teratur yang berkualitas,
b.
Meningkatkan status nutrisi ibu,
c.
Manajemen persalinan yang baik dan
benar ( persalinan yang bersih dan aman), dan
d.
Melaksanakan pelayanan neonatal
esensial terutama dengan melakukan resusitasi yang baik dan benar sesuai dengan
standar.
7. Penanganan Awal dan Lanjutan
1.
Resusitasi
a. Begitu bayi
lahir tidak mengangis,maka dilakukan langkah
awal yang terdiri dari
1)
Hangatkan bayi di bawah pemancar panas
atau lampu
2)
Posisikan kepala bayi sedikit ekstensi
3)
Isap lendir dari mulut bayi kemudian
hidung
4)
Keringkan bayi sambil merangsang taktil
dengan menggosok punggung atau menyentil ujung jari kaki bayi dan mengganti
kain yang basah dengan yang kering.
5)
Reposisi kepala janin
6)
Nilai bayi : usaha napas, warna kulit,
dan denyut jantung
b. Bila bayi tidak
bernapas lakukan ventilasi tekanan positif (VTP) dengan memakai balon dan
sungkup selama 30 detik dengan kecepatan 40-60 kali permenit.
c.
Nilai bayi : usaha napas, warna kulit,
dan denyut jantung
d.
Bila bayi belum bernapas dan denyut
jantung 60 x/menit lanjutnkan VTP dengan kompresi dada secara terkoordinasi
selama 30 detik
e.
Nilai bayi : usaha napas, warna kulit,
dan denyut jantung.
1. Bila denyut
jantung < 60 kali /menit, beri epinefrin dan lanjutkan VTP dan kompresi dada
2. Bila denyut
jantung > 60 kali/menit, kompresi dada dihentikan dan VTP dilanjutkan
f. Pemasangan pipa
ET bisa dilakukan pada setiap tahapan resusitasi.
2.
Terapi
Medikamentosa
1)
Epinefrin
Indikasi :
a. Denyut jantung
bayi < 60 kali/menit setelah paling
tidak 30 detikd ilakukan ventilasi yang adekuat dan kompresi dada belum ada
respon
b. Asistolik
1. Dosis : 0.1 – 0.3 ml/kg BB dalam larutan 1
: 10.000 ( 0.01 mg – 0.03 mg/kg BB)
2. Cara : intra vema tau endotrakeal. Dapat diulang
setiap 3-5 menit bila perlu
2)
Cairan pengganti volume darah
Indikasi :
a. Bayi baru lahir
yang dlakukan resusitasi mengalami hipovolemia dan tidak ada respon dengan
resusitasi
b. Hipovolemia
kemungkinan akibat adanya perdarahan atau syok. Klinis ditandai adanya
pucat,perfusi yang buruk, nadi kecil/lemah, dan pada resusitasi tidak memberikan
respon yang adekuat.
Jenis cairan :
a.
Larutan kristaloid yang isotonis ( NaCl
0.9 %, Ringer Laktat)
b.
Transfusi darah golongan O negatif jika
diduga kehilangan darah banyak dan bila fasilitas tersedia dengan dosis awal 10
ml/kg BB IV pelan selama 5-10 menit. Dapat diulang sampai menunjukkan respon
klinis.
3)
Bikarbonat
Indikasi:
a.
Asidosis metabolik secara klinis (
napas ceat dan dalam, sianosis)
a)
Prasyarat : bayi telah dilakukan
ventilasi dengan efektif
b)
Dosis :
1-2 mEq/ kg BB atau 2 ml/kg BB (4,2 %) atau 1 ml/kg BB (7.4 %)
c)
Cara :
diencerkan dengan aquabides atau dekstrose 5 % sa,a banyak diberikan secara
intravena dengan kecepatan minimal 2 menit
d)
Efek samping : pada keadaan hiperosmolaritas dan kandungan CO2 dari bikarbonat
merusak fungsi miokardium dan otak.
3.
Penanganan
Lanjutan
a.
Pemantauan pasca resusitasi
Sering kali
terdapat kejadian bahwa setelah dilakukan resusitasi dan berhasi, bayi dianggap
sudah baik dantidak perlu dipantau padahal bayi masih mempunyai potensi atau
resiko terjadinya hal yang fatal yaitu misalnua kedinginan, hipoglikemia, dan
kejang. Untuk itu, pasca resusitasi harus tetap dilakukan pengawasan sebagai
berikut.
a)
Bayi harus dipantau secara khusus.
1)
Bukan dirawat secara rawat gabung
2)
Pantau tanda-tanda vital
3)
Jaga bayi agar senantiasa hangat
4)
Bila tersedia fasililitas,periksa kadar
gula darah
5)
Perhatian khusus diberikan pada waktu
malam hari.
b)
Berikan imunisasi Hepatitis B pada saat
bayi masih dirawat dan imunisasi Polio pada saat pulang.
b.
Kapan menghentikan resusitasi
Resusitasi
dinilai tidak berhasil jika bayi tidak bernapas spontan dan tidak terdengar
denyut jantung setelah dilakukan resusitasi secara efektif selama 15 menit.
c.
Kapan harus merujuk
1. Rujukan yang
paling tepat adalah rujukan antepartum untuk ibu resiko tinggi/komplikasi
2.
Bila puskesmas tidak mempunyai
fasilitas lengkap maka lakukan rujukan bila bayi tidak merespon terhadap
tindakan resusitasi
3.
Bila fasilitas mempunyai fasilitas
lengkap dan kemampuan melakukan pemasangan ET dan pemberian obata serta bayi
tidak memberikan respon terhadap tindakan resusitasi, maka segera lakukan
rujukan
4.
Bila sampai dengan 10 menit bayi tidak
dapat dirujuk, jelaskankepada orang tua tentang prognosis bayi yang kurang baik
dan pertimbangkan manfaat rujukan untuk bayi ini kurang baik jika tidak segera
dirujuk.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kegawatdaruratan dapat didefinisikan sebagai situasi serius dan kadang kala
berbahaya yang terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga dan membutuhkan
tindakan segera guna menyelamtkan jiwa/ nyawa (Campbell S, Lee C, 2000).
Penanganan
kegawatdaruratan obstetrik ada tidak hanya membutuhkan sebuat tim medis yang
menangani kegawatdaruratan tetapi lebih pada membutuhkan petugas kesehatan yang
terlatih untuk setiap kasus-kasus kegawatdaruratan
Prinsip umum
penanganan kasus kegawatdaruratan
a.
Pastikan jalan napas bebas
b.
Pemberian oksigen
c.
Pemberian cairan intravena
d.
Pemberian tranfusi darah
e.
Pasang kateter kandung kemih
f.
Pemberian antibiotika
g.
Obat pengurang rasa nyeri
h.
Penanganan masalah utama
i.
Rujukan
Plasenta previa adalah keadaaan
dimana plasenta berimplantasi pada tempat abnormal, yaitu pada segmen bawah
rahim sehingga menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir (Ostium
Uteri Internal) (Rustam mochtar, 1998).
Manajemen pada plasenta previa yaitu.
a.
Seksio sesarea
segera
b.
Perawatan
konservatif di rumah sakit
c.
Persalinan
pervaginam
d.
Seksio sesarea
terjadwal
Asfiksia Neonatorum adalah keadaan dimana bayi tidak dapat
segera bernafas secara spontan dan teratur setelah lahir. Hal ini disebabkan
oleh hipoksia janin dalam uterus dan hipoksia ini berhubungan dengan
faktor-faktor yang timbul dalam kehamilan, persalinan atau segera lahir (Prawiro Hardjo Sarwono, 1997).
Tindakan resusitasi bayi baru lahir mengikuti tahapan-tahapan yang dikenal
sebagai ABC resusitasi, yaitu.
1.
Memastikan saluran terbuka
1)
Meletakkan bayi
dalam posisi kepala defleksi bahu diganjal 2-3 cm.
2)
Menghisap
mulut, hidung dan kadang trachea.
3)
Bila perlu
masukkan pipa endo trachel (pipa ET) untuk memastikan saluran pernafasan
terbuka.
2.
Memulai pernafasan
1)
Memakai
rangsangan taksil untuk memulai pernafasan
2)
Memakai VTP
bila perlu seperti : sungkup dan balon pipa ETdan balon atau mulut ke mulut
(hindari paparan infeksi).
3.
Mempertahankan sirkulasi
1)
Rangsangan dan
pertahankan sirkulasi darah dengan cara
2)
Kompresi dada.
3)
Pengobatan
DAFTAR PUSTAKA
Nwobodo EL.
Obstetric emergencies as seen in a tertiary health institution in
North-Western Nigeria: maternal
and fetal outcome. Nigerian Medical
Practitioner. 2006;49(3):54–55.
Waspodo, dkk.. 2005. Pelatihan
Pelayanan Kegawatdaruratan Obstetri neonatal Esensial Dasar. Jakarta :
Depkes RI.
Mochtar,
Rustam. 1998. Sinopsis Obstetri Jilid I . EGC : Jakarta.
Prawirohardjo,
Sarwono. 2002. Buku Panduan Praktis Maternal dan
Neonatal.
2002. YBSP : Jakarta.
Aliyah Anna,
dkk. 1997, Resusitasi Neonatal, Perkumpulan perinatologi
Indonesia (Perinasia): Jakarta.
Prawirohardjo, Sarwono. 2002. Ilmu Kebidanan. YBPSP:
Jakarta.
Allen Carol
Vestal, 1998, Memahami Proses Keperawatan,
EGC : Jakarta.
Aminullah
Asril,1994, Ilmu Kebidanan,
Yayasan Bina pustaka Sarwono
Prawirohardjo: Jakarta.
KATA PENGANTAR
Sembah sujud penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena
anugerah dan rahmat-Nya jualah sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Dalam
penyusunan makalah ini, penulis telah berusaha semaksimal mungkin, yang mana
telah memakan waktu dan pengorbanan yang tak ternilai dari semua pihak yang
memberikan bantuannya, yang secara langsung merupakan suatu dorongan yang
positif bagi penulis ketika menghadapi hambatan-hambatan dalam menghimpun bahan
materi untuk menyusun makalah ini.
Namun penulis menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh
dari kesempurnaan, baik dari segi penyajian materinya maupun dari segi
bahasanya. Karena itu saran dan kritik yang bersifat konstruktif senantiasa
penulis harapkan demi untuk melengkapi dan menyempurnakan makalah ini.
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................
DAFTAR ISI......................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................
A.
Latar Belakang.......................................................................................................
B.
Rumusan Masalah..................................................................................................
C.
Tujuan ...................................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................
A.
Definisi Kegawatdaruratan Maternal dan
Neonatal................................................
B.
Prinsip Dasar Penanganan
Kegawatdaruratan.........................................................
C.
Prinsip Umum Penanganan Kasus
Kegawatdaruratan............................................
D.
Kunci Keberhasilan Penanganan
Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal
E.
Penanganan Awal dan Penanganan Lanjutan
Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal ( Penanganan Plasenta Previa dan
Penanganan Asfiksia Neonatorum).........................................
F.
Asfiksia Neonatorum...............................................................................................
BAB III PENUTUP............................................................................................................
A.
KESIMPULAN......................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................
Tidak ada komentar:
Posting Komentar