BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Megibung adalah tradisi
turun-temurun yang dilaksanakan oleh warga Kampung
Islam Kepaon di
hari 10, 20, dan 30 hari puasa. Tradisi Megibung merupakan tradisi
yang dimiliki oleh warga Karangasem, yang daerah terletak di ujung timur Pulau Dewata, [Bali]],Indonesia. Megibung berasal dari kata gibung yang diberi
awalan me-.Gibung artinya kegiatan yang dilakukan oleh banyak orang, yakni
saling berbagi antara satu orang dengan yang lainnya. Megibung adalah
suatu kegiatan yang dilakukan oleh banyak orang untuk duduk makan bersama dan
saling berdiskusi dan berbagi pendapat.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana sejarah megibung ?
2.
Perubahan apa saja yang terjadi
saat megibung dimasa sekarang ?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui bagaimana sejarah
megibung
2.
Perubahan apa saja yang terjadi
saat megibung dimasa sekarang ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Megibung
Tradisi Megibung diperkenalkan oleh Raja
Karangasem yaitu I Gusti Agung Anglurah Ketut Karangasem sekitar tahun 1614 Cakaatau 1692 Masehi. Tradisi ini dibawa oleh I Gusti Agung Anglurah Ketut
Karangasem saat menang perang dalam menaklukan kerajaan-kerajaan di Sasak, Lombok. Dahulu, saat prajurit sedang makan, Sang Raja membuat
aturan makan bersama dalam posisi melingkar yang dinamakan
Megibung. Bahkan, Sang Raja ikut makan bersama dengan para prajuritnya.
Konon zaman dahulu kala di Bali ada satu upacara keagamaan,
memohon keselamatan dunia beserta isinya kehadirat Tuhan yang Maha Esa,
menghaturkan sesaji berupa jajan, buah-buahan, daging ayam, sate dll. Setelah
upacara agama tersebut selasai, sesaji tersebut seharusnya dibagi untuk dibawa
pulang lanjut disantap bersama keluarga. Kebetulan yang hadir dalam upacara
tersebut 8 orang laki-laki dan 10 orang wanita, sedangkan sesaji tersebut
apabila dibagi kurang adanya. Seorang dari mereka yang termasuk sesepuh atau
tertua menyarankan agar sisa saji tersebut jangan dibagi, dikumpulkan dalam dua
tempat. Demikain nasinya, daging ayam, jajan, buah-buahan, sate dan yang
lainnya ditempatkan pada dua buah nampan besar dialasi dengan gelaran (anyaman
daun kelapa muda). Merekapun akhirnya makan bersama dengan mengitari
hidangannya, yang laki-laki menjadi satu tempat, demikian pula yang wanita
menjadi satu tempat pula. Mereka menyantap hidangan dengan gembira, ternyata
acara makan bersama itu bemberikan kepuasan secara lahiriah dan kepuasan bathin
tersendiri. Berkenaan dengan makanan sisa sesaji tersebut MEBAGI BUUNG (Bahasa
Bali, batal dibagi) maka acara tersebut bernama mebagi buung . kata mebagi
buung lama-lama menjadi MEBAGIBUNG kemudian menjadi MAGIBUNG pengucapannya
sampai sekarang. Menelusuri kebenaramn cerita ini memang cukup sulit dengan
belum dijumpainya peninggalan tertulis. Hal ini perlu diteliti lagi oleh para
sarjana dan cerdik pandai.
Dalam perjalanannya mengarungi perputaran zaman berikutnya
tradisi megibung ini mengalami penyempurnaan-penyempurnaan seiring dengan makin
meningkatnya pengetahuan manusia serta keluhuran budaya dan tradisi bangsa yang
terkenal adiluhung, ramah tamah penuh toleransi dan tenggang rasa serta santun.
Di zaman serba mekanik dan globalisasi sekarang ini banyak argumen yang
dilontarkan tentang tradisi yang satu ini. Ada yang mengatakan kurang efisien
memakan waktu lama untuk menyantap, ada yang mengatakan terlalu rumit dan
bertele-tele. Namun di satu pihak ada yang mengatakabn sangat praktis, tidak
memerlukan banyak alat makan seperti piring, sendok dan garpu, jumlah makanan
yang harus disediakan sudah dapat ditemukan sesuai dengan jumlah tamu dll.
Megibung biasanya digelar apabila seseorang melaksanakan
satu upacara seperti Dewa Yadnya (korban suci kehadirat Tuhan Yang Maha Esa),
Manusa Yadnya (korban suci kepada sesama manusia), Pitra yadnya (korban suci
untuk orang yang telah meninggal/leluhur), Buta Yadnya (korban suci bagi butha
kalatermasuk satwa) dan Rsi Yadnya (korban suci bagi para penghulu agama).
Tetapi sekarang ini megibung digelar bukan hanya sebatas hanya pada uopacara
tersebut di atyas namun juga dalam acara selamatan, acara tutup tahun dan
menyambut tahun baru, rapat-rapat yang diikuti lebih dari 100 orang, pelantikan
Kepala Desa, RAT KUD dll. Di Bali tradisi megibung samapi sekarang masih dianut
oleh masyarakat di Kabupaten Karangasem dan Klungkung, sedangkan di Lombok
Barat Nusa Tenggara Barat, megibung bukan saja digelar oleh masyarakat suku
Bali saja melainkan juga digelar oleh masyarakat suku Sasak sampai sekarang,
bahkan dalam pelaksanaannya demikian memiliki kelebihamn dibandingkan dengan di
Bali, dimana kalau di Lombar ada skenarionya serta ada bertindak selaku
pengacara atau pengantar acra (pengenter) dari awal pelaksanaan sampai selesai.
Hal ini menunjukkan kedisiplinan yang tinggi. Mari kita telusuri bagaimana
skenario urut-urutan acara megibung tersebut di bali maupun di Lombok Barat.
Persiapan untuk acara megibung ini untuk di Bali dikerjakan
bersama secara gotong royong oleh warga banjar, tetangga atau undangan
terdekat. Biasanya dikerjakan sejak sehari sebelum hari H. Dari menangkap babi,
ayam atau kambing, membuat bumbu, lanjut mengerjakan samapi selesai pada hari H
tersebut. Yang dibuat jenis-jenis lauk pauk tersebut diantaranya: lawar,
kekomoh, nyuh-nyuh putih, nyuh-nyuh barak, padamara, wilis (bahannya dari daun
belimbing), kacang-kacang, marus, urutan, sate, timbung (rawon), balah dll.
Satenya juga banyak macam seperti sate lembat, pusut, asem, kablet dan obob. Setelah
seluruhnya selesai, diatur pada satu tempat gelaran (anyaman daun kelapa muda)
sedemikian rupa lengkap segala jenis tersebut di atas serba sedikit untuk porsi
8 orang laki-laki atau 10 orang wanita. Jumlah satenya biasanya 15 sampai 20
tangkai. Satu gelaran atau satu porsi ini bernamakan KARANGAN. Ada juga
diantaranya bertugas memasak nasi, nasi diatur menjadi gibungan. Gibungan
dimaksud adalah nasi seberat satu kilogram diatur diatas gelaran, dialasi
dengan namp[an, nare atau baki, ada juga yang memakai dulang (lihat foto)
dimana pada pinggirnya ditaruh garam atau sambal secukupnya. Pada hari H
apabila segala persiapan telah selesai, mulai pukul sembilan acara megibung
digelar, kadang kala kalau tamu banya acara ini digelar sampai 3 atau 4 periode,
dimana satu periode samapai 20 sela (gibung/rombongan). Gibungan diatur
penempatannya berbaris, dibedakan tempatr untuk tamu wanita dan laki-laki. Di
sebelah masing-masing gibungan tersebut juga disiapkan karangan, air cuci
tangan, kendi tempat air minum. Demikianlah apabila personilnya telah lengkap
masing-masing para tamu dipersilahkan untuk cuci tangan lanjut bersantap.
Salah seorang dari masing-masing sela tersebut bertugas sebagai tukang pepara
(menaikan lauk ke atas gibungan). Demikianlah acara megibung ini berlangsung
penuh disiplin. Para pengayah (peladen) yang membawa tambahan air, nasi dll
sibuk meladeni para tamu yang sedang bersantap. Acara megibung ini berlangsung
sekitar lima belas menit atau lebih. Apabila para tamu telah selesai santap
(mereka biasanya bengong saling tunggu) maka tuan rumah atau yang mewakili
mempersilahkan untuk cuci tangan lanjut bubaran. Mereka(para tamu) mencari
tempat duduk di tempat lain untuk basa basi dengan tuan rumah akhirnya mohon
ijin untuk pamitan. Sudah tentu tuan rumah menjawab dengan ucapan terima kasih
serta mohon maaf atas segala kekhilafan dan kekurangannya.
Di Lombok acara megibung ini lebih unik dan disiplin.
Seperti urauian di atas bahwa untuk di Lombok acara ini juga digelar oleh
saudara kita suku Sasak disamping suku bali yang tinggal disana. Tokoh adat
Sasak Nursilah dan Duharang, demikian pula Zaini tokoh muda asal Desa Blencong
Gunung Sari Mataram Lobar secara terpisah menjelaskan bahwa acara megibung
masih digelar sampai sekarang apabila ada acara sunatan, perkawinan, Nyiwak (9
hari setelah seseorang meninggal), metang dasa, nyatus (upacara selamatan) dll.
Seperti layaknya di Bali megibung disini terdiri dari 8 orang bagi yang
laki-laki dan 10 orang bagi yang wanita, mereka duduk melingkari segibungan nasi
lengkap dengan lauk disebelahnya, sudah tentu lauknya terdiri dari daging ayam,
atau sapi atau kambing atau kerbau. Acara makan bersama ini berlangsung
sedemikian rupa sampai selesai sudah tentu ada peladen yang meladeni acara
santap ini untuk membawakan tambahan air, nasi dll. Lail lagi apabila acara
megibung ini digelar oleh suku Bali di Lombok. Karangan (lauk pauk) tiap
gibungan tidak ditaruh di sebelah gibungan melainkan ditempat jauh menyendiri.
Selama acara megibung berlangsung dipimpin oleh seorang pengenter (protokol)
yang mengomando, lauk apa yang harus disuguhkan secara berurutan. Adapun jenis
lauk yang disuguhkan serta urutan penyuguhannya adalah sebagai berikut:
Setelah para tamu lengkap duduk melingkari masing-masing
gibunagn tiap sela, maka pengenter mempersilahkan para tamu untuk mencuci
tangan lanjut bersantap. Pada masing-masing gibungan telah disiapkan lauk
pemula yang disebut sekar gibungan (bunga gibungan), kemudian pengenter
mengomandokan kepada para pengayah guna mengantarkan olahan patung (nama salah
satu lauk), beberapa menit kemudian menyusun olahan pepenyon. Begitulah terus
secara kontinyu disuguhkan jejatah (sate) dmana jejatah ini dihangatkan kembali
oleh petugas (nyangglain). Disaat sate dihangatkan, disuguhkan pula bawi repah
atau pepindangan (rawon) menyusul jangan olah (sayuran) yang disantap bersama
sate yang telah dipanaskan tersebut. Beberapa menit kemudian pengenter
menyampaikan ucapan bemberitahuan dengan ucapan tajep yang maksudnya tidak ada
lagi lauk yang akan disajikan. Demikianlah apabila para tamu telah usai santap,
maka pengenter mempersilahkan untuk mencuci tangan kembali namun masih dengan
tertib duduk pada tempat masing-masing. Saat itu disuguhkan jajan yang disebut
mesanganan maksudnya cuci mulut, menyusul kemudian sirih dan rokok disodorkan
kepada para tamu. Setelah seluruhnya mendapat bagian barulah para tamu
dipersilahkan bangun dan bubarran. Satu periode acara megibung ini kadangkala
sampai 20 sela. Apabila tamu banyak maka makan bersama ini digelar sampai dua
atau tiga periode.
Sukses tidaknya acara megibung ini sangat ditentukan oleh
kesigapan tuan rumah dibantu oleh para pengayah (peladen). Juga yang tidak
sedikit andilnya adalah para RAN . ran disini yang dimaksud adalah pemimpin
atau koordinator di dalam mengerjakan olahan/adonan lauk yang dikerjakan sejak
sehari sebelum hari H. Nikmat tidaknya hidangan sangat ditentukan dan
bergantung kepada keahlian Ran itu sendiri. I Wayan Danur asal Monjok Mataranm
Lombok Barat tokoh adat merangkap sebagai Ran mengatakan bahwa keberhasilan di
dalam mengerjakan olahan/adonan lauk ini sangat bergantung dari kerja sama
anggota banjar (organisasi adat di satu desa) dan masyarakat di sekitar. Wayan
danur sudah kenyang dengan asam garamnya sebagai Ran ini lebih lanjut menjelaskan
bahwa ada acara megibung yang dianggap suci yang disebut megibung linggih
sumanggen. Dalam acara megibung linggih sumanggen ini semua yang terlibat baik
yang menyantap, pengayah dan yang lainnya memakai keris diselipkan di pinggang.
Acara suci ini digelar apabila ada upacara suci pula seperti Ngeroras (upacara
besar setelah dua belas harinya ngaben) dan Mediksa (upacara apabila seseorang
menjadi pendeta) menurut ajaran Hindu.
Satu gibungan dikitari oleh 8 orang dengan duduk bersila di
setiap penjuru mata angin mengingatkan kita pada sembilan penjuru mata angin
yaitu Utara, Timur Laut, Timur, Tenggara, Selatan, Barat Daya, Barat dan Barat
Laut di tambah di tengah. Dalam ajaran Hindu kesembilan mata angin tersebut
dijaga oleh para Dewata yang disebut Dewata Nawa Sanga menciptakan keseimbangan
dan keharmonisan bhuana (dunia). Seperti apa yang tersurat dalam lontar Lebur
Sanga menguraikan sebagai berikut: ada sembilan linggih para dewata yang
disebut dewata nawa sanga yaitu di Utara (uttara) berstana Ida Bhatara Wisnu,
di Timur (Purwa) berstana Ida Bhatara Iswara, di Selatan (Dhaksina) berstana
Ida Bhatara Brahma, di Barat (Pascima) berstana Ida Bhatara Mahadewa, di Barat
laut (Wayabiya) berstana Ida Bhatara Asankara, di Timur Laut (Ersaniya)
berstana Ida Bhatara Shambu, di Tenggara (Gneyan) berstana Ida Bhatara
Maheswara, di Barat Daya (Neriti) berstana Ida Bhatara Ludra, sedangkan di
Tengah berstana Ida Bhatara Siwa.
Acara megibung merupakan aktualisasi dan pengejawantahan
dari filosopi di atas. Dalam hal ini manusia bukan bermaksud amada-mada dewata
namun yang terpenting sebagai manusia harus selalu ingat dan meresapi filosopi
dewata nawa sanga tersebut guna menciptakan keseimbangan hidup.
Dan yang lebih penting lagi bahwa megibung mengandung
pendidikan moral bernilai tinggi seperti pendidikan etika, tata tertib, sopan
santun, kesabaran, memupuk rasa kebersamaan dan kekeluargaan, salaing
menghargai. Betapa tidak, apabila ada diantaranya yang mendahului cuci tangan,
mendahului makan atau bangun tanpa mempedulikan yang lain, sudah dianggap tidak
mengenal etika dan sopan santun. Demikian pula dari segi kebersamaan,
kekeluargaan dan saling menghargai, hal ini akan dapat terpupuk dengan baik.
Dalam satu sela (satu rombongan) makan megibung yang terdiri dari 8 orang yang
bukan saudara, kadangkala tidak saling mengenal. Hal ini mungkin terjadi karena
sama-sama menghadi satu undangan seseorang yang melaksanakan satu upacara atau
agama. Perkenalanpun terjadi bahkan dilanjutkan dengan saling memaparkan
pengalaman masing-masing secara sepintas sebagai basa-basi. Betapa tinggi nilai
filosopi dan pendidikan budi pekerti yang dikandung dalam acara atau tradisi
magibung tersebut.
B.
Perubahan
Yang kekal adalah perubahan, demikan ungkapan yang populer
sering dilontarkan orang. Demikian pula tentang tradisi megibung, sesuai dengan
perubahan jaman sekarang ini, tradisi magibung khususnya di Karangasem tidak
lagi terdiri dari 8 orang setiap sela namun terdiri dari 6 orang agar lebih
leluasa duduknya. Air minum tidak lagi memakai kendi (caratan) melainkan
diganti dengan air mineral dalam kemasan berbentuk gelas.
Lain lagi di Lombok Barat, sekarang tradisi megibung masih
tetap dipeliraha dan dilaksanakan, namun ada beberapa perubahan disesuaikan
dengan perubahan jaman sekarang ini. Karena acara megibung ini dalama satu
periode memakan waktu sampai kurang lebih satu jam, maka lauk pauk (karangan)
tidak lagi disuguhkan berurutan sesuai komando, melainkan telah disiapkan
selengkapnya di masing-masing sela sepert acara megibung di Bali, namun
protokol atau pengenter acara tetap diadakan saat acara megibung.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Megibung adalah tradisi turun-temurun yang dilaksanakan
oleh warga Kampung
Islam Kepaon di
hari 10, 20, dan 30 hari puasa. Tradisi Megibung merupakan tradisi
yang dimiliki oleh warga Karangasem, yang daerah terletak di ujung timur Pulau Dewata, [Bali]],Indonesia. Megibung berasal dari
kata gibung yang diberi awalan me-.Gibung artinya kegiatan yang
dilakukan oleh banyak orang, yakni saling berbagi antara satu orang dengan yang
lainnya. Megibung adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh banyak orang
untuk duduk makan bersama dan saling berdiskusi dan berbagi pendapat.
Megibung biasanya digelar apabila seseorang melaksanakan
satu upacara seperti Dewa Yadnya (korban suci kehadirat Tuhan Yang Maha Esa),
Manusa Yadnya (korban suci kepada sesama manusia), Pitra yadnya (korban suci
untuk orang yang telah meninggal/leluhur), Buta Yadnya (korban suci bagi butha
kalatermasuk satwa) dan Rsi Yadnya (korban suci bagi para penghulu agama).
Tetapi sekarang ini megibung digelar bukan hanya sebatas hanya pada uopacara
tersebut di atyas namun juga dalam acara selamatan, acara tutup tahun dan
menyambut tahun baru, rapat-rapat yang diikuti lebih dari 100 orang, pelantikan
Kepala Desa, RAT KUD dll. Di Bali tradisi megibung samapi sekarang masih dianut
oleh masyarakat di Kabupaten Karangasem dan Klungkung, sedangkan di Lombok
Barat Nusa Tenggara Barat, megibung bukan saja digelar oleh masyarakat suku
Bali saja melainkan juga digelar oleh masyarakat suku Sasak sampai sekarang,
bahkan dalam pelaksanaannya demikian memiliki kelebihamn dibandingkan dengan di
Bali, dimana kalau di Lombar ada skenarionya serta ada bertindak selaku
pengacara atau pengantar acra (pengenter) dari awal pelaksanaan sampai selesai.
Hal ini menunjukkan kedisiplinan yang tinggi. Mari kita telusuri bagaimana
skenario urut-urutan acara megibung tersebut di bali maupun di Lombok Barat.
DAFTAR PUSTAKA
https://id.wikipedia.org/wiki/Megibung
http://sinar-cakrawala9.blogspot.co.id/2015/05/tradisi-megibung-sarat-dengan-makna.html
KATA PENGANTAR
Sembah sujud penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena
anugerah dan rahmat-Nya jualah sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Dalam
penyusunan makalah ini, penulis telah berusaha semaksimal mungkin, yang mana
telah memakan waktu dan pengorbanan yang tak ternilai dari semua pihak yang
memberikan bantuannya, yang secara langsung merupakan suatu dorongan yang
positif bagi penulis ketika menghadapi hambatan-hambatan dalam menghimpun bahan
materi untuk menyusun makalah ini.
Namun penulis menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh
dari kesempurnaan, baik dari segi penyajian materinya maupun dari segi
bahasanya. Karena itu saran dan kritik yang bersifat konstruktif senantiasa
penulis harapkan demi untuk melengkapi dan menyempurnakan makalah ini.
DAFTAR
ISI
KATA PENGATAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
B.
Rumusan
Masalah
C.
Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Megibung
B.
Perubahan
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
MAKALAH
TRADISI M E G I B U N G DI LOMBOK
Disusun
Oleh
NAMA KELOMPOK
1. ULFIN JUNIARTI
2. RIA PUTRIANA
3. IZRA REWITA
4. NOVI SURYA NINGSIH
5. ZOHRATUL MAESAROH
MA.
TARBIYATUL MUSLIMIN
DASAN
MALAAN
2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar