BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini terdapat perhatian yang semakin besar terhadap
dunia islam khususnya studi hadis. Perkembangan cepat yang dialami oleh banyak
ilmu serta pengaruhnya yang semakin besar terhadap kehidupan masyarakat,
memaksa kita untuk mempelajari segala hal yang berkaitan dengan bidang ini.
Dengan mengetahui tentang studi hadis maka kita akan lebih memahami dan
mempunyai wawasan yang luas tentang seluk beluk yang berkaitan dengan studi
hadis tersebut, sehingga kita sebagai generasi penerus bangsa mampu
meningkatkan dunia pendidikan terutama yang berlandaskan hadis nabi.
Penulis memilih tema klasifikasi hadis ditinjau dari segi
kwantitas dan kualitas sanad serta status wurudnya pada makalah ini, karena
disamping mengandung arti dan masalah komplek yang perlu dicermati dan
membutuhkan kreatifitas dalam memecahkannya, tetapi juga dengan adanya
pengkajian ini diharapkan akan memunculkan pemikiran-pemikiran baru yang
bermanfaat bagi eksistensi pendidikan dalam bidang agama, khususnya pada studi
hadis. Tentunya hal itu akan memperkaya pengetahuan kita tentang segala hal
yang menyangkut studi hadis, baik dimasa lampau maupun dimasa yang akan datang.
Pembagian hadis diperlukan dalam upaya untuk
mengklasifikasikan hadis, dari sisi kuantitas pembagian hadis bertujuan untuk
mengetahui jumlah rawi pada tiap tingkatan sehingga muncul klasifikasi hadis
mutawattir dan hadis ahad. Sedangkan dari sisi kualitas bertujuan untuk
mengetahui keontetikan hadis dilihat dari shahih, hasan, dhaif dan sebagainya.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apa
sajakah klasifikasi hadis dari segi kuantitasnya?
2. Apa sajakah klasifikasi hadis dari
segi kualitasnya?
3. Apa pengertian hadits shahih ?
4. Apa saja kriteria hadits shahih ?
1.3 Tujuan
1.
Untuk
mengetahui klasifikasi hadis dari segi kuantitasnya.
2. Untuk mengetahui klasifikasi hadis
dari segi kualitasnya.
3. Untuk mengetahui pengertian hadits
shahih
4. Untuk mengetahui kriteria hadits
shahih
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Klasifikasi Hadis Dari Segi
Kuantitasnya
Maksud tinjauan hadis dari segi kuantitasnya, adalah
kuantitas hadist disini yaitu dari segi jumlah orang yang meriwayatkan suatu
hadist atau dari segi jumlah sanadnya.. Ditinjau dari segi sedikit atau
banyaknya rawi yang menjadi sumber berita, hadis terbagi menjadi dua macam,
yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad.
1. Hadis Mutawatir
a.
Pengertian
Hadis mutawatir
Setiap hadis pasti mempunyai rawi yang banyak dari berbagai
tingkatan. Jika sejumlah sahabat yang menjadi rawi pertama suatu hadis itu
banyak sekali, rawi yang kedua (tabi’in), ketiga (tabi’it – tabi’in)
dan seterusnya sampai pada rawi yang mendewankan (membukukan) dalam keadaan
yang sama, seimbang atau bahkan lebih banyak jumlahnya, maka termasuk Hadis
mutawatir.
Pada dasarnya mutawatir berarti berurutan, berkesinambungan,
kontinyu (tatabu’ = تتابع). Secara terminologis, hadis mutawatir
(الحديث المتواتر) dapat diartikan sebagai hadis yang diriwayatkan oleh banyak
perawi dalam setiap generasi sanad, mulai awal (sahabat nabi) sebagai perawi
tertua (common link) hingga akhir (perawi, penulis hadis).
Dari definisi yang dikemukakan oleh beberapa muhadditsin
mengenai hadis mutawatir, maka dapat disimpulkan bahwa Hadis
mutawatir adalah hadis yang bisa dipertanggungjawabkan keadaannya dari
system periwayatannya karena pada setiap generasi (thabaqat) sanadnya
terdapat sejumlah perawi yang tidak mungkin diantara mereka berbuat dusta atau
penyelewengan terhadap hadis yang diriwayatkan.
Para ahli berbeda pendapat mengenai jumlah minimal para
perawi yang meriwayatkan hadis mutawatir. Sebagian ulama menetapkan
jumlah 20 perawi, dan sebagian lagi menetapkan 40 perawi pada setiap generasi.
Namun demikian para ulama telah sepakat bahwa hadis yang diriwayatkan secara
mutawatir dapat meyakinkan penerimanya bahwa hadisnya adalah benar-benar datang
dari sumbernya, rasulullah SAW. Inilah yang disebut sebagai Qathiyyah
al-Wurud (قطعية الورود).
b. Ciri-ciri Hadis mutawatir
Setelah anda mengkaji pengertian hadis mutawatir di
atas, maka akan menemukan ciri-cirinya, yaitu :
1) Jumlah perawinya banyak yang tidak
mungkin berdusta
Menurut Abu Thayyib, minimal 4 orang, mengkiaskan saksi
dalam persidangan. Kelompok Asy-Syafi’i berpendapat, minimal 5 orang
mengkiyaskan Nabi-nabi Ulul Azmi. Sebagian ulama lain menentukan minimal 20
orang berdasar QS. Al-Anfal 65, yang menjelaskan tentang 20 orang yang tahan
uji sehingga dapat mengalahkan 200 orang kafir. Ada pula yang menentukan
minimal rawinya berjumlah 40 orang, berdasar QS. Al-Anfal 64, yaitu jumlah
orang mukmin ketika itu.
2) Jumlah rawinya seimbang dalam semua
tingkatan
Dengan demikian jika misalnya suatu hadis diriwayatkan oleh
10 sahabat, kemudian diterima oleh 5 orang tabi’in dan seterusnya hanya
diriwayatkan oleh 2 orang tabi’it tabi’in, maka tidak termasuk hadis
mutawatir.
3) Berdasarkan Tanggapan Panca Indra
Maksudnya warta yang disampaikan itu benar-benar hasil
pendengaran atau penglihatannya sendiri bukan hasil pemikiran atau teori yang
mereka temukan.
c.
Kedudukan
Hadis mutawatir
Keadilan dan kedhabitan (kuat ingatan) dari para perawi hadis
mutawatir itu sudah tidak diragukan lagi, sehingga mereka tidak mungkin
untuk berbohong dalam membawa berita dari Nabi SAW. Karena itu para ulama
sepakat bahwa hadis mutawatir memberi dampak pada faedah ilmu dharury,
yakni keharusan untuk menerima bulat-bulat berita dalam hadis tersebut secara
pasti (qath’y wurud). Dengan demikian hadis mutawatir menduduki
tingkatan teratas dibandingkan dengan hadis-hadis yang lainnya.
d. Pembagian Hadis mutawatir
Ulama ushul membagi hadis mutawatir menjadi dua
bagian, yaitu mutawatir lafdy dan mutawatir ma’nawy. Adapun yang
dimaksud dengan hadis mutawatir lafdy (الحديث المتواتر اللفظي) adalah
hadis yang diriwayatkan secara redaksional adalah mutawatir berdasarkan
sanadnya. Sejak generasi awal sanad hingga akhir matan hadis yang diriwayatkan
adalah sama, konsisten secara redaksional.
Sedang Mutawatir Maknawy, ialah hadis yang rawinya
banyak, tetapi redaksi pemberitaannya berbeda-beda, hanya prinsip dan maknanya
saja yang ada kesamaan.
Contoh hadis mutawatir lafdhy, antara lain :
Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadis tersebut diriwayatkan
oleh 40 orang sahabat, dan sebagian ulama mengatakan bahwa hadis tersebut
diriwayatkan oleh 62 orang sahabat dengan susunan redaksi dan makna yang sama.
2. Hadis Ahad
a. Pengertian dan Kedudukan Hadis Ahad
Kata ahad (احاد) merupakan bentuk jamak dari kata ahad
(أحد) yang berarti tunggal (mufrad) yang menunjukkan makna sedikit.
Hadis ahad (حديث اﻵحاد) adalah hadis yang diriwayatkan oleh
satu orang, dua atau tiga orang atau bahkan oleh sejumlah orang tetapi tidak
mencapai jumlah bilangan kemutawatiran (‘adad at-tawatur), selanjutnya
masing-masing perawi menyampaikan hadisnya kepada seorang atau dua orang saja
atau sejumlah perawi tetapi dalam setiap tahapnya jumlah perawi tersebut tidak
menjadikan hadisnya terkenal sebagaimana jenis lainnya.
Hadis ahad pada dasarnya dapat diterima (maqbul) dan bisa
ditolak (mardud), tergantung pada kualitas perawinya dan atau ketersambungan
sanadnya (ittishal as-sanad), bukan karena jumlah sanad pada setiap generasi
itu sendiri. Hadis ahad juga bisa dijadikan sebagai pedoman dalam pelaksanaan
ajaran islam, namun tidak bisa dijadikan hujjah dalam hal i’tiqad, keyakinan.[3]
b. Klasifikasi Hadis Ahad
Berdasarkan sedikit dan banyaknya para perawi yang terdapat
pada tiap-tiap tingkatan (thabaqat), maka hadis Ahad dapat dibagi menjadi tiga,
yaitu hadis masyhur, hadis aziz dan hadis gharib.
1) Hadis Masyhur
Hadis Masyhur ialah hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang
atau lebih, tetapi belum mencapai derajat mutawatir.
Contoh hadis masyhur:
Menurut ulama Fiqh, hadis Masyhur itu Murodif (disebut juga)
Hadis Mustafid. Namun sebagian yang lain berpendapat bahwa hadis Masyhur itu
lebih umum daripada hadis Mustafid. Dalam hadis Mustafid jumlah rawi harus sama
dalam setiap tingkatannya, sementara pada hadis Masyhur tidak harus sama.
Dilihat dari segi makna Masyhur berarti terkenal atau
populer. Maka ulama hadis membagi hadis Masyhur dari segi maknanya menjadi tiga
kelompok, yaitu :
a) Masyhur di kalangan Muhadditsin dan
lainnya.
b) Masyhur di kalangan para ahli
disiplin keilmuan tertentu. Misalnya hanya terkenal di kalangan Muhadditsin,
Fuqaha’, ahli nahwu, tasawuf dan lain
c) Masyhur hanya di kalangan umum
2) Hadis Aziz
Aziz secara bahasa berarti mulia atau kuat dan juga berarti
jarang, menurut istilah hadis aziz adalah hadis yang diriwayatkan dua
orang perawi walaupun dua orang perawi tersebut berada dalam satu tingkatan
saja., kemudian setelah itu orang-orang meriwayatkannya.
Contoh hadis ini adalah :
Rosulallah SAW bersabda: “Iman kalian belumlah sempurna
sehingga (sebelum) mencintai lebih kepadaku daripada orang tuanya, anaknya, dan
manusia seluruhnya)
3) Hadis Gharib
Hadis Gharib yaitu hadis yang dalam sanadnya terdapat
seseorang yang menyendiri dalam meriwayatkan, dimana saja penyendirian dalam
sanad itu terjadi. Maksudnya penyendirian itu bisa jumlah personalianya atau
sendiri dalam sifat atau keadaannya perawi-perawi lainnya yang meriwayatkan
hadis tersebut.
Penyendirian dalam personalianya disebut Gharib Mutlak,
sedang penyendirian mengenai sifat-sifat atau keadaan tertentu seorang rawi. Misalnya
ketsiqahan, tempat tinggal, rawi tertentu, maka disebut Gharib Nisby.
Mayoritas ulama sependapat bahwa hadis ahad yang maqbul
(bisa diterima) dalam arti shahih, bisa digunakan sebagai dasar hukum Islam,
dan wajib diamalkan. Adapun yang berkaitan dengan akidah ada beberapa
pendapat yang netral, hadis ahad yang telah memenuhi syarat (shahih) dapat
dijadikan hujjah / dalil untuk masalah akidah asal hadis tersebut tidak
bertentangan dengan Alquran, dan hadis-hadis lain yang lebih kuat, dan tidak
bertentangan dengan akal sehat.
Pembagian hadis dari segi kuantitas ini sekedar untuk
mengetahui sedikit atau banyaknya sanad, bukan untuk menentukan diterima atau
tidaknya hadis. Karena itu kita perlu pula mengetahui materi berikutnya yang
akan membahas tentang kualitas hadis.
3. Perbedaan Hadist Ahad dengan Hadist
Mutawatir
a. Dari segi
jumlah rawi
Hadist mutawatir diriwayatkan oleh para rawi yang jumlahnya
begitu banyak pada setiap tingkatan, sehingga menurut adat kebiasaan, mustahil
(tidak mungkin) mereka sepakat untuk berdusta. Sedangkan hadist ahad
diriwayatkan oleh rawi atau dalam jumlah yang menurut adat kebiasaan masih
memungkinkan dia atau mereka sepakat untuk berdusta.
b. Dari segi
pengetahuan yang dihasilkan
Hadist mutawatir menghasilkan ilmu qath’i (pengetahuan yang
pasti) atau ilmu dharuri (pengetahuan yang mendesak untuk diyakini) bahwa
hadist itu sungguh-sungguh dari Rasulullah, sehingga dapat dipastikan
kebenarannya. Sedangkan hadist ahad menghasilkan ilmu zhanni (pengetahuan yang
bersifat dugaan) bahwa hadist itu berasal dari Rasulullah SAW, sehingga
kebenarannya masih berupa dugaan pula.
c. Dari segi
kedudukan
Hadist mutawatir sebagai sumber ajaran Islam memiliki
kedudukan yang lebih tinggi dari hadist ahad. Sedangkan kedudukan hadist ahad
sebagai sumber ajaran Islam berada dibawah kedudukan hadist mutawatir.
d. Dari segi
kebenaran keterangan matan
Dapat ditegaskan bahwa keterangan matan hadist mutawatir
mustahil bertentangan dengan keterangan ayat dalam Alquran. Sedangkan
keterangan matan hadist ahad mungkin saja (tidak mustahil) bertentangan dengan
keterangan ayat Alquran.
2.2 Klasifikasi Hadis dari Segi
Kualitasnya
Ditinjau dari segi kualitas, para ulama membagi tiga bagian,
yaitu hadis Shahih, hadis Hasan dan hadis Dha’if :
1.
Hadis
Shahih
a. Pengertian Hadis Shahih
Menurut bahasa, sahih berarti sehat, bersih dari cacat, sah,
atau benar, sehingga hadist sahih menurut bahasa berarti hadist yang bersih
dari cacat, atau hadist yang benar berasal dari Rasulullah SAW. Sedangkan
batasan tentang hadist sahih yang diberikan oleh ulama yaitu: hadist sahih
adalah hadist yang susunan lafazhnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi
ayat (al-Qur’an), hadist mutawatir, atau ijmak dan sanadnya bersambung serta
para rawinya adil dan dhabith.
Menurut Ulama Muhadditsin, hadis shahih yaitu hadis yang
dinukil (diriwayatkan) oleh rawi yang adil, sempurna ingatannya, bersambung
sanadnya, tidak ber’illat dan tidak janggal.
Dari segi terminology, diartikan dengan definisi sebagai
berikut :
ما اتّصل سنده بنقل العدل الضابط عن
مثله وسلم من شذوذ وعلّة
Hadis shahih adalah hadis yang sanadnya bersambung proses
periwayatan oleh orang yang adil, dan kuat daya ingatnya dari orang yang serupa
sifatnya serta terbebas dari keganjilan dan cacat)
Dengan pengertian tersebut, maka ada lima syarat untuk
disebut hadis shahih, yaitu :
1) Rawinya bersifat adil
Menurut
Ibnus-Sam’any, seorang rawi bisa disebut adil bila :
a) Menjaga ketaatan dan menjauhi
kemaksiatan kepada Allah
b) Menjauhi dosa-dosa kecil
c) Meninggalkan perbuatan mubah yang
dapat menggugurkan iman kepada Qadar dan menjadikan penyesalan
d) Tidak mengikuti salah satu mazhab
yang bertentangan dengan dasar syara’.
Sedang
Muhyiddin Abdul Hamid menjelaskan bahwa adil berarti :
a) Islam
b) Mukallaf
c) Selamat dari sebab-sebab yang
menjadikan seseorang fasik dan mencacatkan kepribadiannya.
2) Sempurna ingatannya (dhabit)
Maksudnya daya ingatannya kuat, dari awal menerima hadis
hingga disampaikan kepada orang lain tidak ada yang lupa. Sanggup dikeluarkan
dimana dan kapan saja dikehendaki. Jika demikian, maka disebut Dhabit Shadran.
Sedang bila keutuhan hadis yang disampaikan itu berdasar pada buku catatan
(teks book), maka disebut Dhabit Kitabah. Adapun rawi yang memiliki sifat adil
dan Dhabit disebut “Rawi Tsiqah” (dapat dipertanggung jawabkan).
3) Sanadnya tidak terputus
Maksudnya sanadnya bersambung, tidak ada yang terputus,
karena tiap-tiap rawi dapat saling bertemu dan menerima langsung dari guru yang
memberinya.
4) Tidak mempunyai ‘illat
Selamat dari illat (penyakit) hadis, yaitu penyakit yang
samar-samar yang dapat menodai kesahihan suatu hadis. Misalnya, meriwayatkan
hadis secara Muttasil (bersambung) terhadap hadis Mursal (gugur seorang sahabat
yang meriwayatkannya) atau terhadap hadis Munqathi’ (gugur salah seorang
rawinya). Demikian juga dapat dianggap illat hadis, jika ada sisipan dalam
matan hadisnya.
5) Tidak janggal
Maksudnya hadis yang rawinya maqbul (dapat diterima
periwayatannya) tersebut tidak bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh
rawi yang lebih rajih (kuat), disebabkan dengan adanya kelebihan jumlah sanad
atau kelebihan dalam kedhabitan rawinya atau adanya segi-segi tarjih yang
lainnya.
Variasi
Hadits Shohih:
a. Mutlak : Hadits yang keshahihannya
dikenal oleh semua kalangan.
b. Muqoyyad : Hadits yang keshahihannya
dikenal oleh kalangan/kelompok bi Shohabi sahabat (ulama) tertentu
c. Muqoyyad :Hadits yang keshahihannya
dikenal di wilayah/negara tertentu
Tingkat keshahihan hadist juga berbeda berdasarkan kota
dimana hadist tersebut diriwayatkan. Jumhur Ulama sepakat bahwa hadist yang
paling shahih adalah yang diriwayatkan oleh penduduk Madinah, kemudian penduduk
Basrah dan kemudian penduduk Syam .
Selain perincian tersebut, ada pula penentuan urutan
tingkatan hadist sahih, adalah hadist yang diriwayatkan oleh:
a. Bukhari dan Muslim
b. Bukhari sendiri
c. Muslim sendiri
d. Ulama yang memakai syarat-syarat
yang dipakai oleh Bukhari dan Muslim.
e. Ulama yang memakai syarat-syarat
yang dipakai oleh Bukhari sendiri.
f. Ulama yang memakai syarat-syarat
yang dipakai oleh Muslim sendiri.
g. Ulama yang terpandang (mu’tabar)
b. Klasifikasi Hadis Shahih
Hadis
Shahih terbagi menajdi dua bentuk, yaitu :
1) Shahih li-Dzatihi (صحيح لذاته),
yaitu hadis shahih yang secara sempurna terpenui kriteria persyaratan tersebut
di atas. Hadis shahih li dzatihi tingkatannya bisa turun menjadi Hasan li
zatihi ketika kedhabitan seorang rawi kurang sempurna.
2) Shahih Lighairih (صحيح لغيره), yaitu
hadis yang rawinya kurang hafizd dan dhabit (hasan Lizzatih), namun ada sanad
lain yang serupa atau lebih kuat, sehingga dapat menutupi
kekurangan-kekurangannya.
c. Martabat Hadis Shahih
Di dalam hadis shahih sendiri terdapat tingakatan-tingkatan
berdasarkan kedhabitan dan keadilan para perawinya, yaitu :
1) اصح الاساند (sanadnya paling
shahih, misalnya bagi Imam Bukhari adalah Malik, Nafi’ dan Ibnu Umar, bagi Imam
An-Nasa’I adalah Ubaidillah Ibnu ‘Abbas dan Umar bin Khattab).
2) متفق عليه (Hadis Riwayat
Bukhari dan Muslim).
3) رواه البخارى (Hadis riwayat
Imam Bukhari)
4) رواه مسلم (Hadis riwayat Imam
Muslim)
5) شراط البخارى ومسلم (menurut
syarat-syarat Imam Bukhari dan Muslim)
6) صحيح على شرط البخارى (Shahih
memenuhi syarat Imam Bukhari)
7) صحيح على شرط مسلم (Shahih
memenuhi syarat Imam Muslim)
8) Hadis yang ditakhrij dengan tidak
menggunakan syarat Bukhari dan Muslim.
2.
Hadis
Hasan
Menurut bahasa berarti hadist yang
baik. Para ulama menjelaskan bahwa hadist hasan tidak mengandung illat dan
tidak mengandung kejanggalan. Kekurangan hadist hasan dari hadist sahih adalah
pada keadaan rawi yang kurang dhabith, yakni kurang kuat hafalannya. Semua
syarat hadist sahih dapat dipenuhi dhabithnya rawi (cermatnya rawi).
Menurut istilah hadis hasan adalah
hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, sanadnya bersambung, tidak
mengandung ilat, dan tidak janggal, namun rawinya kurang dhabit (kurang baik
tingkat hapalannya).
Secara terminologis hadis hasan
didefinisikan sebagai berikut :
الحديث الحسن ما اتّصل سنده يرويه غير
كامل الثقة
Hadis hasan adalah hadis yang
bersambung sanadnya dan diriwayatkan oleh orang yang kurang sempurna
kredilitasnya. Hadis hasan adalah hadis yang memenuhi semua syarat-syarat hadis
shahih, hanya saja seluruh atau sebagian perawinya kurang dhabit. Dengan
demikian perbedaan hadis shahih dan hadis hasan terletak pada tinggi atau
rendahnya kedhabitan seorang rawi. Hadis hasan terbagi menjadi dua, yaitu :
1. Hasan Lizzatihi. Maksudnya hadis itu
telah memenuhi syarat-syarat hadis hasan.
2. Hasan Lighairihi, Maksudnya hadis
itu sanadnya ada yang dirahasiakan (Mastur), tidak jelas keahliannya, namuan
mereka bukan pelupa, tidak banyak salah dan tidak dituduh dusta dalam
periwayatannya. Pada mulanya hadis hasan ligahirih itu adalah hadis dha’if,
namun karena ada dukungan sanad lain yang memperkuat, maka naik tingkatannya
menjadi hadis Hasan.
Hadis
hasan ini bisa dijadikan sebagai dasar sumber hukum Islam, namun tingkatannya
di bawah hadis shahih.
3.
Hadis
Dha’if
Dha’if artinya “lemah”. Adapun yang
disebut hadis dha’if adalah hadis yang kehilangan satu atau lebih syarat-syarat
hadis shahih atau hadis hasan. Adapun yang dimaksud dengan hadis dha’if adalah
sebagaimana rumusan sebagai berikut :
الحديث الضعيف ما لم يجمع صفة الحسن
بفقد شرط من شروطه
Hadis dla’if adalah hadis yang tidak
memiliki syarat sebagai hadis hasan karena hilangnya sebagian syarat). Pada
dasarnya hadis dha’if itu disebabkan dua alasan, yaitu :
1. Karena sanadnya tidak muttasil
(bersambung)
2. Nama hadis dhaif karena alasan /
sebab tidak muttasilnya sanad antara lain ; hadis mursal, hadis munqati’, hadis
mu’adhdhal, hadis mudallas, dan hadis muallal.
3. Karena faktor lain misal dari matan
Nama hadis dhaif karena alasan /
sebab ini antara lain hadis mudha’af, hadis mudhtharib, hadis maqlub, hadis
mungkar, hadis matruk, dan hadis mathrub.
Menurut para Muhadditsin,
sebab-sebab tertolaknya hadis sebagai sumber hukum bisa ditinjau dari dua
faktor, yaitu Sanad dan matannya.
1. Faktor Sanad
Dari
faktor sanad ini bisa karena rawinya cacat dan bisa pula tertolak karena
sanadnya tidak bersambung.
2. Rawi Cacat
Rawi hadis yang cacat dari keadilan
dan kedhabitan hadisnya disebut
1) Mandhu’ (rawinya dusta)
2) Matruk (tertuduh dusta)
3) Munkar (fasik, banyak salah, lengah
dalam hafalan)
4) Mu’allal (banyak prasangka)
5) Mudraj (penambahan suatu sisipan)
6) Maqlub (memutarbalikkan)
7) Mudhtharib (menukar-nukar rawi
hadis)
8) Muharraf (mengubah syakal – huruf)
9) Mushahhaf (mengubah titik dan kata)
10) Mubham (tidak diketahui
identitasnya)
11) Mardud (penganut Bid’ah)
3. Sanadnya tidak bersambung
Hadis yang sanadnya gugur atau tidak
bersambung hadisnya disebut
1) Mu’allaq (gugur pada sanad pertama)
2) Mursal (gugur pada sanad terakhir /
shahabat)
3) Mu’dhal (gugur dua orang rawi atau
lebih berurutan)
4) Munqhati’ (gugurnya rawi tidak
berurutan)
4. Faktor Matan
Hadis yang
tertolak dari faktor matan hadis, maka hadisnya bisa karena berupa hadis
1. Mauquf (disandarkan kepada sahabat)
2. Maqthu’ (disandarkan kepada
tabi’in).
Para ulama
berbeda pendapat tentang penggunaan hadis dha’if sebagai hujjah (dasar hukum)
atau sebagai amalan kebaikan. Pendapat pertama, menolak sama sekali menggunakan
hadis dha’if. Baik untuk mendorong berbuat kebajikan maupun dalam penetapan
hukum. Kedua, menerima secara utuh hadis dha’if. Ketiga, menolak sebagai hujjah
(dasar hukum) dan menerima sekedar untuk memotifasi berbuat kebajikan dan
nasehat asalkan hadisnya tidak terlalu janggal dan ada penguat dari hadis yang
lainnya.
Dari
ketiga pendapat tersebut, yang paling selamat adalah pendapat pertama, karena
penuh dengan ihtiyat dan kehati-hatian agar tidak terjebak dalam perbuatan
bid’ah.
BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Dari
pembahasan diatas disimpulkan bahwa
- Ditinjau dari segi sedikit atau
banyaknya rawi yang menjadi sumber berita, hadis terbagi menjadi dua
macam, yaitu hadis mutawatir dan hadis Ahad.
- Ditinjau dari segi kualitas,
para ulama membagi tiga bagian, yaitu hadis Shahih, hadis Hasan dan hadis
Dha’if.
DAFTAR PUSTAKA
Al
Maliki, Muhammad Alawi.2009.Ilmu Ushul Hadis.Yogyakarta : Pustaka
Pelajar
Amru,
Abdul Mun’im Salim. 1997. Tafsir Ulumul Hadis. Kairo: Maktabah Ibnu
Taymiyah
As-Shalih.
2007. Membahas Ilmu-Ilmu Hadis. Pustaka Firdaus: Jakarta
Asyshidieqy,
Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis.Jakarta : Indonesia
Ismail,
M. Syuhudi.1993.Pengantar Ilmu Hadis.Bandung : Angkasa.
Majid
Khon, Abdul. 2009. Ulumul Hadis. Bumi Aksara: Jakarta
Mudasir.
2008. Ilmu Hadis. Pustaka Setia: Bandung
Rahman,
Facthur.1991. Ikhtishar Mushtalatul Hadis. Bandung: PT Alma’arif.
Suparta,
Munzier. 2003. Ilmu Hadis. Bandung : Angkasa.
Zuhri,
Muh.2003.Hadis Nabi Telaah dan Metodologis.Yogyakarta : PT Tiara
Wacana Yogya
"KLARIFIKASI
HADITS"
Disusun
Oleh
NAMA : LILIK
RUKMARDIANTI
PRODI : PGRA-II
SEKOLAH
TINGGI ILMU TARBIYAH NAHDLATUL ULAMA (STITNU)
AL-MAHSUNI
DANGER
2017
KATA PENGANTAR
Sembah sujud penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena
anugerah dan rahmat-Nya jualah sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Dalam
penyusunan makalah ini, penulis telah berusaha semaksimal mungkin, yang mana
telah memakan waktu dan pengorbanan yang tak ternilai dari semua pihak yang
memberikan bantuannya, yang secara langsung merupakan suatu dorongan yang
positif bagi penulis ketika menghadapi hambatan-hambatan dalam menghimpun bahan
materi untuk menyusun makalah ini.
Namun penulis menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh
dari kesempurnaan, baik dari segi penyajian materinya maupun dari segi
bahasanya. Karena itu saran dan kritik yang bersifat konstruktif senantiasa
penulis harapkan demi untuk melengkapi dan menyempurnakan makalah ini.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar
Belakang
1.2.Rumusan
Masalah
1.3.Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
2.1.Klasifikasi Hadis Dari Segi
Kuantitasnya
1. Hadis
Mutawatir
2. Hadis Ahad
3. Perbedaan Hadist Ahad dengan Hadist
Mutawatir
2.2.Klasifikasi Hadis dari Segi
Kualitasnya
1. Hadis Shahih
2. Hadis Hasan
3. Hadis Dha’if
BAB III PENUTUP
3.1.Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar